Label

Rabu, 10 Juni 2009

Serunya ‘Bui’ di saat Perempuan Curhat


Oleh: Phie2t

LKK Unimed (Universitas Negeri Medan) mencoba unjuk gigi pada hari ke tiga perayaan Pekan Apresiasi Teater (PAT) III tepatnya pukul 16.00 Wib (21 Januari 2008) di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam. LKK mengusung teater ‘Bui’ karya sutradara ..................... tema yang diketengahkan masih seputar perempuan dan kasus-kasusnya. Seakan pembicaraan dan perdebatan tentang perempuan itu, tidak pernah ada usainya.
Alur mulai bergerak ketika beberapa tahanan perempuan mulai mendapat perdebatan dengan seorang sipir wanita yang mereka namai dengan Inang Boru. Layaknya sipir-sipir yang lain, Inang Boru juga memperlakukan tahanan dengan keras. Bagi tahanan, hal ini sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan mereka tidak terbiasa dengan keheningan dan kesenyapan suasana setelah datangnya tahanan baru. Perempuan itu lebih memilih untuk diam daripada beraktivitas seperti yang lainnya. Konflik mulai naik ketika seorang tahanan yang paling berani mengintrogasi perempuan yang pendiam tadi dengan paksa bak seorang sipir. Tidak berhenti di sana saja, pergerakan alur mulai terjadi ketika perlahan semua tahanan perempuan menceritakan pengalaman pahit hidupnya hingga bisa sampai ke dalam bui.
Jenis teater realisme ini memakai beberapa kultur untuk menjelaskan sosiologi dan antropologi tokoh, misalnya ada tahanan yang berasal dari Batak, Jawa tengah, Betawi, dan lain sebagainya. Ini bisa dirasakan langsung dari dialog yang diucapkan oleh para aktor, mereka medog dengan dialek daerah asal sang tokoh. Tingkat keseriusan aktor masuk kedalam karakter yang diberikan menjadikannya ternyata sungguh di atas panggung.
Tampaknya sutradara perempuan ini memang tertarik untuk mengangkat permasalahan yang dirasakan oleh perempuan ke permukaan. Hal ini dipertegas oleh sutradara saat forum diskusi berlangsung, ‘setidaknya karakteristik peran telah mewakilkan suara perempuan dari seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai nasib yang sama yaitu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dan dalam rumat tangga (KDRT) itu tidak pernah memilih suku, warna kulit, serta tingkat pendidikan’, ungkapnya disela diskusi.
Sebuah kemasan pementasan yang sedehana namun menarik dalam wacana ini, secara garis besar esensinya tidak tersampaikan kepada penonton. Secara visual memang karya ini tidak melakukan pen-diskriminasi-an terhadap salah satu jenis gender, namun tetap saja penyikapan permasalahan membuat kaum perempuan terkesan tidak sanggup melawan dengan akal sehat (rasional) atau lebih emosional. Salah satu penyikapan kaum perempuan terhadap masalahnya seperti yang dilakukan seorang tokoh pembantu yang mendapat perlakuan anormatif dan asusila dari majikannya. Perlawanan terjadi ketika ia tahu bahwa tengah mengandung anak dari hasil hubungan gelapnya dan sebagai solusi hanya membunuh sang bayi yang tidak pernah salah.
Teater sebagai sarana edukatif, jelas pementasan ini tidak mendidik penonton untuk mempunyai pola pikir yang berbeda. Kasus kedua didalam pementasan ini misalnya, seorang anak yang tega membunuh ayah kandungnya karean kalut saat ayahnya terus melakukan kekerasan terhadap ibu mereka. Di dalam pementasan Bui ini masih banyak contoh yang lain. Seharusnya perlawanan itu tidak hanya dengan hal ini, penyadaran bahwa perempuan mempunyai hak untuk melapor segala bentuk kekerasan pada KOMNASHAM.
Sehingga fungsi teater kembali berubah sebagai fungsi hiburan. Penonton hanya mendapat memorian terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dari pementasan yang disuguhkan. Apalagi lawakan para aktor menjadi kekuatan pementasan ini. Penonton terhibur dengan beberapa dialog atau ucapan aktor dengan logat daerah yang mereka perankan. Sukses untuk teater LKK Unimed, setidaknya mereka telah berpartisipasi secara positif dalam kegiatan PAT III ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar