Label

Rabu, 10 Juni 2009

Analisis Naskah Kemerdekaan Wisran Hadi

Oleh: Phie2t

Berbicara tentang kemerdekaan akan menjadi perdebatan panjang dan tidak akan ada usainya. Kemerdekaan secara universal merupakan kebebasan berpikir dan bertindak namun tidak serta-merta memunculkan keegoisan. Kemerdekaan menuntut seseorang untuk dapat adil dalam memutuskan sesuatu yang dianggap perlu tanpa membuat orang lain merasa dirugikan. Setidaknya orang yang mengalami perubahan akan menginginkan hidup dan pola kehidupannya tidak tertindas bahkan dirugikan dari pihak manapun. Begitu pula sebaliknya mereka berusaha untuk tidak membuat orang merasa dirugikan.
Persoalan perang, ketertindasan, keegoisan, kekuasaan dan sebagainya dapat dituangkan ke dalam sebuah karya seni misalnya teater. Banyak naskah teater yang berangkat dari permasalahan kesenjangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Pementasan teater diharapkan mampu menjadi refleksi kehidupan bagi penontonnya. Salah satu dari banyak naskah dan pertunjukan yang berbicara tentang kritik sosial seperti ‘Kemerdekaan’ karya Wisran Hadi. Naskah ini ditulis pada zaman pergerakaan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksud oleh penulis naskah memiliki ambiguitas makna. Arahan masalah yang diperbincangkan di dalam naskah menjadi sangat kompleks ketika permasalahan kemerdekaan tidak hanya identik dengan perang fisik seperti perang senjata. Namun hal ini dapat dirubah sebagai pemaknaan panjang terhadap sebuah kebebasan, baik bertindak maupun berpikir.
Persoalan kemerdekaan akan dapat kita temukan perbedaannya pada sebuah garapan Akbaruddin pada Pekan Apresiasi Teater (PAT) II (Desember 2005) yang berjudul ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ merupakan dekonstruksi naskah ‘Kemerdekaan’ karya Wisran Hadi. Arahan persoalan lebih kepada persoalan perempuan, dimana posisi perempuan yang terjepit antara kodrat dan impian.

Kesatuan Unsur Insterinsik Naskah merupakan Pijakan Awal sebuah Pertunjukan.
Unsur insterinsik dalam sebuah sastra merupakan pembahasan terhadap unsur yang membangun karya yang berasal dari ‘tubuh’nya sendiri. Unsur insterinsik menjadi penting ketika kita akan melihat hubungan yang jelas masing-masing unsur. Arti kata, unsur insterinsik sebuah karya sastra harus saling berkaitan untuk mendirikan sebuah ‘bangunan’ yang kokoh, yaitu naskah yang menarik.


1. Tema/Amanat
Tema merupakan pokok pikiran pengarang yang merupakan patokan uraian dalam suatu tulisan. Tema adalah inti permasalahan yang ingin disampaikan oleh penulis/pengarang lewat karyanya.
Lewat karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’, sutradara ingin menyampaikan sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh seorang sutradara laki-laki tentang pandangan objektif dalam permasalahan perempuan. Menurut versi pengarang, tema dari naskah asli adalah manusia tidak akan pernah mencapai sebuah kemerdekaan ketika masih terikat norma, adat bahkan kekuasaan. Sedangkan interpretasi Akbaruddin sebagai sutradara lebih diarahkan pada konteks perempuan. Hal ini dapat terlihat dalam perubahan wujud pertunjukan yang membicarakan permasalahan perempuan.
Pernyataan di atas dapat dibuktikan lewat potongan dialog yang diucapkan oleh tokoh sebagai berikut:
Tua (A) : Apa kau tahu kapan selesainya perjuangan seperti ini.
Muda (B) : Pasti ada waktu untuk sebuah emansipasi.
(A) : Tapi bagaimana dengan keadaan kita sekarang? Bagaimana mengimbangi kodrat mereka dengan keadaan kita sekarang? Bila tak ada kekuatan yang seimbang, kebebasan yang kita perjuangkan tidak akan ada hasilnya. Saat ini persoalan emansipasi atau kebebasan dutentukan oleh nasib atau kodrat. Oh, aku tak tahu lagi berapa lama keadaan seperti ini ini berakhir. Aku tak tahu berapa sudah jumlah teman-teman kita teraniaya, menjadi korban keganasan nafsu lelaki. Aku tak tahu bagaimana arti seorang istri yang seharusnya dimanjakan, dibanggakan sebagai perhiasan rumah tangga. Segala apa yang dikatakan kitab-kitab adat istiadat serta norma-norma yang kita lakukan. Justru karena keadaan kita sekarang yang belum juga jelas bagaimana akhirnya, sementara aku sudah mendekati titik akhirku. Saat ini aku ingin sebuah kedamaian rumah yang dihuni suami istri dan anak-anak yang hidup tanpa dihantui pertengkaran dan penindasan.

1. Latar (Setting)
Latar adalah persoalan-persoalan yang menyangkut peristiwa dan kurun waktu terjadinya peristiwa dalam lakon. Pemahaman terhadap latar dalam sebuah cerita tidak sekedar fungsi sebagai pemahaman ruang dan tempat peristiwa itu terjadi tetapi juga berkaitan dengan suatu yang melandasi konflik di dalam cerita. Pemahaman terhadap latar juga mengkaji berbagai implikasi psikologi yang ditimbulkan oleh latar para tokoh di dalam lakon.
Latar meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang dan waktu. Latar tempat pada sebuah naskah drama menjelaskan tentang dimana peristiwa ini berlangsung. Sehingga latar tempat memudahkan kita menginterpretasikan sosiokultur, antropologi dan geogarfis dari peristiwa yang dihadirkan melalui dialog dalam lakon.
Latar waktu memberikan pemahaman terhadap waktu kejadian peristiwa di dalam lakon. Apakah lakon terjadi pagi hari, siang atau malam. Latar waktu menjadi indikator dan parameter bagi pengarang terhadap filosofis yang coba ditawarkan juga berkaitan dengan zaman apa peristiwa terjadi di dalam lakon.
Latar suasana adalah sebuah gambaran dari suasana yang dihadirkan pengarang di dalam lakon. Latar suasana merupakan wujud dari alur dan bangunan konflik yang mengandung dramatic action, sehingga audience mendapatkan sugestif dan include dari apa yang tontonnya.
Karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin merupakan salah satu dari sekian banyak pertunjukan yang didekonstruksi dari naskah nonrealisme. Kecendrungan naskah nonrealisme tidak akan merinci setiap detail latar. Bisa saja permasalahan yang dialami tokoh terjadi di suatu ruangan yang aneh, hutan belantara, ruang yang mirip dengan penjara yang berpagar berlapis-lapis sedangkan di luar ruangan itu ada sebuah jalan yang panjang dan bebas tanpa ada pagar penghambat. Hal ini dapat dibuktikan dari potongan dialog:
Tua (A) : Tetaplah di sini, aku akan pergi
Muda (B) : Sayang sekali, yang kau lihat itu tak lebih hanya keinginanmu saja. Tapi ya, benar juga. Siapa yang tidak ingin kebebasan, siapa yang tehan terhadap tekanan, ketakutan dan kesangsian di dalam ruangan ini. Tapi percayalah, kau tak akan menemukan apa-apa di sana.
(A) : Ah, kau seperti tahu saja dimana kebebasan itu?
(B) : Pada suatu tempat, tetapi bukan di ambang pintu itu.
2. Alur (Plot)
Alur dapat diartikan sebagai jalinan cerita atau kerangka dari awal sampai akhir yang merupakan jalinan konflik antara tokoh yang mengalami kontradiktif atau pertentangan. Melalui sebuah alur kita dapat memahami cerita yang coba ditawarkan oleh penggarapnya.
Konflik dalam pertunjukan karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin hadir setelah adanya pertentangan dua orang tokoh perempuan terhadap mimpi-mimpi juga trauma sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Di satu sisi perempuan A ingin terlepas dari belenggu hidup yang telah lama dialaminya. Perempuan A merasa jenuh dengan perlakuan yang tidak adil atas dirinya. Selalu menjadi objek nomor dua dalam menentukan keputusan, menjadi pelampiasan kekerasan dalam rumah tangga. Hingga akhirnya perempuan A terdorong untuk melepaskan diri dan segera menghirup udara kebebasan yang diidam-idamkannya.
Perempuan B berusaha meyakinkan dan menyadarkan perempuan A bahwa semua ini hanya mimpi semu. Ia yakin bahwa realitas yang akan diterima tidak akan seindah yang dibayangkan oleh perempuan A. Perempuan B seakan telah bosan dan muak dengan segala modernitas yang dialaminya. Ia bebas melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkan, namun tetap saja hal ini membelenggunya. Modernitas tetap tidak bisa membebaskannya dari diskriminasi hak oleh kaum pria. Kedudukan di tengah masyarakat seakan belum bisa membebaskannya dalam mengambil keputusan.
3. Penokohan/Perwatakan
Penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi; fisiologis, psikologis dan sosiologis. Pelukisan watak pemain dapat langsung dilihat pada dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon, namun banyak juga ditemukan melalui catatan samping.
Pertentangan pemikiran tokoh A dan tokoh B dalam ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin sudah dapat mewakili karakter mereka, karena pengaruh zaman di saat mereka hidup juga mempengaruhi cara menyikapi persoalan.


Hubungan Korelasi antar Unsur Insterinsik ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin
Tema merupakan permasalahan yang ingin sampaikan oleh penulis naskah melalui karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Hubungan tema dengan latar (setting) ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin adalah sebuah pergeseran peristiwa yang terjadi di dalam naskah, secara tidak langsung dipengaruhi oleh tema, baik tema sentral (tema mayor) maupun sub tema (tema minor).
Kemerdekaan yang hakiki itu memang tidak ada, akan tetapi manusia masih saja mencari dan terus mencari hingga mereka hanya akan bertemu dengan sebuah kebosanan dan kejenuhan. Pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ ini berbicara tentang bagaimana seseorang yang telah lapuk oleh sebuah konvensi dan terkadang ingin sekali lepas dari kejenuhannya. Di sisi lain tokoh yang menentang lebih berpikir untuk tetap tenang tanpa mampu berbuat banyak. Mereka terlibat percakapan dan pertempuran pemikiran sehingga secara tidak langsung mereka hanya terjerat alur yang membosankan, berkali-kali mencoba untuk lepas dan bebas dan tiap kali itu pula mereka tidak akan mendapatkan kebahagian yang didambakan.
Tema merupakan ide/gagasan utama yang membingkai permasalahan yang ditonjolkan oleh sebuah karya. Untuk itu, alur merupakan sebuah keterangan yang lebih spesifik jika permasalahan ini terjadi pada suatu kelompok pada suatu daerah yang telah ditentukan. Jika dikaitkan dengan pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin maka hubungan kedua unsur ini akan terlihat jelas pada sosiokultur yang diadaptasi ke sosiokultur Minangkabau. Pertunjukan ini mengangkat persoalan peran dan eksistensi perempuan di Minangkabau (Sumatera Barat)
Hubungan tema, latar dan penokohan juga terlihat dengan bagaimana sikap dan pemikiran tokoh dalam menyikapi persoalan yang mereka hadapi. Keberadaan perempuan itu hanya terlihat sebgai ikon saja di Minangkabau. Mereka tetap tidak mempunyai hak prioritas dalam menentukan keputusan.

Penghadiran Simbol sebagai penyikapan permasalahan perempuan.
Menghadirkan simbol-simbol yang dekat dengan dunia perempuan ternyata dapat membantu sutradara dalam menyampaikan isian yang dihadirkan dalam pertunjukan. Misalnya, menghadirkan dua sisi kehidupan yang berbeda. Di satu sisi tokoh A masih tergolong orang yang tradisional, sedangkan tokoh B sudah berada dalam masa modernitas. Dengan adanya property wajan besar dan tungku tiga batu, setrika dan mejanya, kereta dorong, meja dan alat pemotong daging, kostum dan rias yang berbicara panjang tentang konflik yang dialami oleh kaum perempuan.
Simbol yang dihasilkan oleh setrika mampu menggambarkan kondisi perasaan perempuan akibat konflik yang dialami baik di lingkungan rumah tangga, tempat kerja dan lain sebagainya. Gerak tubuh perempuan B yang menyetrika dirinya merupakan bentuk ungkapan kekecewaan yang terhadap posisi perempuan yang kurang dihargai oleh kaum laki-laki. Walau perempuan itu senantiasa melakukan rutinitas namun imbalan yang diterima bisa saja perlakuan kasar dari pihak laki-laki. Dengan menyetrika diri, kesakitannya yang ingin disampaikan oleh sutradara bukan hanya kesakitan fisik saja namun juga kesakitan psikis.
Ketika menghadirkan simbol kereta bayi dan meja serta pisau pemotong daging juga mewakili perasaan yang dialami perempuan kebanyakan. Dengan adanya modernitas yang dirasakan oleh kaum perempuan, mereka lebih praktis dalam menghadapi persoalan mengurus anak dan keluarga, padahal sebenarnya kaum perempuan akan mengalami konflik dengan hal itu. Kedekatan emosional seorang anak dengan ibunya tidak lagi terasa di saat kehangatan gendongan ibu digantikan dengan keempukan kereta bayi. Begitu juga dengan pekerjaan dapur yang serba instan, hanya membuat perempuan berjarak dengan keluarga mereka.
Pada posisi apapun perempuan akan merasa terjepit. Perempuan yang tidak mempunyai pendidikan dan pengalaman hidup yang banyak hanya akan menerima perlakuan semena-mena dari lelaki. Begitu pun sebaliknya, perempuan yang matang dalam karier dan pendidikan akan dianggap dapat mengancam harga diri suaminya jika porsi kariernya lebih banyak dari suami. Dianggap tidak lagi memikirkan rutinitas seagai seorang istri dan ibu dalam rumahnya.
Padahal hal ini bisa saja diseimbangkan dengan mencari titik temu permasalahan. Salah satu cara yang dilakukan misalnya membicarakannya sebagai sebuah diskusi yang sangat objektif dan menghargai pendapat satu sama lain antara seorang perempuan dengan lelaki.

Unsur eksterinsik sebagai suatu pandangan agama, sosial budaya, politik, ekonomi terhadap eksistensi perempuan.
Unsur eksterinsik merupakan unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dari luar karya tersebut, misalnya pandangan penggarap karya dalam menyikapi permasalah yang ditonjolkan dengan melihat kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan, diantaranya aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek agama, aspek politik dan lain sebagainya.
Di dalam pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin dapat ditemukan berbagai macam pendapat tentang eksistensi perempuan melalui aspek agama. Di dalam sudut pandang agama, posisi perempuan itu ditentukan kodrat. Perempuan dilahirkan sebagai kaum yang lemah dan berasal dari tulang rusuk lelaki. Perempuan dalam posisi apapun tetap harus dapat menghargai kaum lelaki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hal dibawah ini:
• ‘Mereka wanita shalihah itu yang taat kepada kepada Allah lagi memelihara diri (tidak belaka curang serta memelihara dan rahasia suaminya) ketika suami tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka (mewajibkan suami untuk mempergauli istri dengan baik) Q.S Annisa ayat 34

• Abu hurairah r.a berkata: ‘Rasulullah bersabda, ‘jika wanita melaksanakan shalat fardhu ain, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya maka ia akan masuk sorga dari pintu apa saja yang ia kehendaki’ Hadist riwayat: Ibnu Hibban.


Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam situasi apapun perempuan tidak dapat menghindar dari kodratnya; Menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui serta menghindari rutinitas dan kewajiban dalam mengasuh anak, mencuci, memasak, melayani suami dan kegiatan lainnya.
Jika dilihat dari aspek sosial budaya maka seorang perempuan di Minangkabau merupakan sosok yang menjadi ikon, sehingga sistem matrilineal itu masih digunakan hingga sekarang. Namun pada prakteknya, perempuan tidak mendapatka andil dalam sistem pemerintahan dan mengambil keputusan. Di minangkabau, posisi perempuan sebagai pewaris harta kekayaan hanya sebatas pemilik namun yang mengatur segalanya adalah kaum laki-laki yang disebut dengan Mamak. Mamak mempunyai hak prioritas dalam menjaga kehormatan keluarga saudara perempuannya, termasuk menentukan calon pendamping hidup kemenakannya, penyelesai sengketa perolehan harta warisan dan hal lain yang berbau adat istiadat.
Begitu juga dengan aspek politik ekonomi dan lainnya. Keberadaan perempuan masih bisa dihitung jari andilnya dalam kencah pemerintahan. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh sikap perempuan dalam menghadapi persoalan hidup lebih cenderung mengedepankan perasaan (emosional) dari pada rasional. Walau tidak tertutup kemungkinan ada sebagian perempuan yang mampu menepis statement ini, buktinya Megawati, Indah Supari (Menkes RI) dan masih banyak lagi kaum perempuan yang mampu duduk di kursi perempuan bersama kaum lelaki dan menujukkan eksistensi mereka sebagai perempuan yang smart dan cerdas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar