Oleh: Uchien
“Insan-insan
Malang” Karya Bambang Soelarto, kembali dipentaskan dalam rangka Ujian Tugas
Akhir Mahasiswa jurusan Seni Teater dan Film, program Diploma Tiga Sekolah
Tinggi Seni Riau (STSR). Pementasan ini diselenggarakan di Gedung Olah Seni,
Taman Budaya Pekanbaru, Minggu 17 Februari, 20.00 WIB. Bertindak selaku
sutradara atau yang teruji Rohasimah.
Insan-insan
Malang, syarat dengan persolan social-politik pada masa kelahiran naskah lakon
karya Bambang Soelarto ini. Pada tahun 60-an Indonesia mengalami perpecahan di
dalam tubuh pemerintahan. Saling intrik antar organisasi dan partai semakin
menjadi-jadi. Saling intrik ini disebabkan oleh dua ideologi yang berlawanan,
Kapitalis-Imperealis versus Sosialis-Komunis. Pada naskah Insan-insan Malang
ini mencoba mewakili pertentangan pandangan ini terhadap tokoh Pelamar Satu
(Sulaiman) dan Pelamar Dua (Riki).
Adegan
awal, munculnya tokoh Bapak (Syarif) yang mengamati photo anaknya di atas
lemari, Bapak menunjukkan betapa sayangnya dia terhadap anak semata wayang,
bernama Wati yang akan dilamar oleh dua orang pemuda. Tak lama berselang
terdengar ketukan pintu, tak lain dan tak bukan yang datang adalah seorang
pemuda. Bapak menyambutnya dengan sangat ramah, dengan sedikit salah tingkah
Pemuda Satu memperkenalkan dirinya. Pemuda Satu, seorang sarjana ekonomi
jebolan perguruan tinggi Amerika. Punya kedudukan tinggi sebagai direktur
sebuah perusahaan industry obat-obatan. Punya rumah gedung tingkat dua, punya
dua mobil sedan. Dari status Pemuda Satu ini menandakan, dia adalah seorang
pemuda yang kaya raya. Hal inilah yang menyebabkan Pemuda Satu dihujat oleh
Pemuda Dua, sebagai borjuis tengik anti revolusi, dia juga dituduh sebagai
komprador nekolim.
Setelah
memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud hati untuk melamar Wati, Pemuda
Satu mohon diri untuk pergi. Sebelum pergi Bapak mengingatkan bahwa masih ada
satu orang pemuda lagi yang datang untuk melamar. Bapak menegaskan bahwa Pemuda
Satu baru berstatus sebagai calon menantu. Setelah Pelamar Satu pergi, Bapak
memperlihatkan ketidaksenangannya, dia menilai Pemuda Satu, laki-laki yang
sombong, telah membanggakan harta kekayaannya. Kemarahan Bapak disambut dengan
kehadiran Pemuda Dua.
Pemuda
Dua, seorang pegawai tinggi, asisten ahli dalam bidang social-politik cabinet.
Pernah belajar ilmu politik di Universitas Negara Sosialis. Sangat tidak suka
dengan Pemuda Satu yang menghinanya sebagai badut politik yang terus menurus
mengibuli rakyat. Kerjanya cuma main komisi, makan suap, manipulasi, korupsi.
Bikin inflasi, memproduksi slogan-slogan basi. Pemuda Dua datang menghadapi
Bapak juga ingin maksud hatinya untuk melamar wati, namun Bapak juga dibikin
kesal olehnya, dengan maksud mencampurkan urusan keluarga dengan politik.
Melihat
dari kedua pelamar Wati, penulis naskah tidaklah melihat persolan sederhana,
dari permaslahan keluarga, namun dapat dilihat persoalan besar dibalik itu
semua. Persoalan politik dapat dilihat dari pertentangan idelogi besar yang
diwakili oleh tokoh Pemuda Satu dengan Pemuda Dua yang memperebutkan Wati. Wati
barangkali bisa dianalogikan sebagai bangsa Indonesia yang pada saat itu ingin
menemukan identitas. Tapi kemudian Bapak tidak mau melepaskan anaknya begitu
saja, sampai pada akhirnya Wati memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bapak merasa
terpukul sekali dan mersa bersalah, ditambah dengan surat yang ditulis Wati
dibacakan oleh Pemuda (Ridwan) keluarga dekat Bapak. “…kukatakan dengan terus
terang, bahwa tidak satupun dari mereka yang menjadi pilihan hatiku, Bapak
setuju. Aku mohon memilih jodoh sendiri, bapak menolak. Sejak itu timbul
perasaan aneh dalam diriku, aku merasa berhadapan dengan hantu jahat. Bapak
hendak menguasai hidupku, aku jadi benci kepadanya. Aku dikurung dalam kamar
dan Bapak menghiburku dengan belaian sayang, tidak sebagai anak kandung
sendiri, tetapi sebagai wanita, aku benci Mas. Aku tidak tahan Mas. Selamatkanlah
aku dari hantu jahat ini Mas. Jika tidak, aku akan menyelamtkan diriku, dengan
caraku sendiri, jika tak bisa bertahan lagi menghadapi si hantu…”. Belum
selesai surat dibaca, Bapak merampasnya dari tangan Pemuda. Emosi bapak
bercampur aduk, dari rasa sedih, karena mersa bersalah terhadap pelakuannya dan
marah, karna Bapak tahu, bahwa ternyata Wati menyukai Pemuda. Bapak kalut, dan
masuk ke kamar. Di dalam kamar tercium bau kain terbakar, wajah Bapak terbakar,
lalu ia terus mengoceh tentang perbuatannya menuju pintu dan keluar.
Dilihat
dari keseluran element pementasan. Naskah lakon realis ini, digarap dengan
konsep presentasi. Dari latar tempat
dan waktu sett panggung, rias dan kostum dibangun sesuai dengan kelahiran naskah. Namun, hal itu tidak
terlihat secara keseluruhan hadir di atas panggung. Sutradara tidak detail,
panggung yang sangat lebar dibiarkan kosong, banyak ruang mestinya masih bisa
diisi dengan beberapa perabotan. Kemudian yang dibiarkan oleh sutradara adalah
kesamaan warna dasar permainan, sehingga pementasan terlihat datar. Padahal
actor menjadi yang utama dalam pementasan.
Terlihat
juga, bahwa actor tidak begitu total untuk mengenali tokoh, dangkal
interpretasi, sehingga tubuh actor menjadi sangat mekanis. Actor hanya bermain secara fisik dan tampak luarnya saja
dan usaha untuk bermain inner menjadi
ngambang dengan tidak menjaga intensitas bermain. Mestinya actor bermain
menjadi milik si karakter, tidak hanya sekedar mewakili si karakter. Sebaiknya
actor juga mengutamakan indentifikasi antara jiwa si actor dengan jiwa si
karakter, sambil membiri kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang (Eka
D. Sitorus: 2003).
Seperti
juga yang pernah disampaikan oleh Stanislavsky “actor menjadi penting dalam
sebuah proses produksi. Actor adalah pemegang kendali tercapainya pesan yang
ingin disampaikan oleh penulis naskah melalui konsep yang diciptakan oleh
sutradara”.
Husin, Tenaga
Pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Praktisi Teater
bos ada Email jurusan teater gak atau alamat lain yang bsa kmi hubngi, kami dari Isi padangpanjang/panitia PTKSI 2015.
BalasHapusini alamat email kami (ptksi2015@gmail.com)
BalasHapus