Label

Rabu, 10 Juni 2009

‘ Repertoar 3 Tari di 3 Kota ‘; Kejemuan terhadap Tari Konvensional

Oleh: Phie2t

‘Tubuh itu apa?, tari itu apa? Dan petunjukan itu apa? Kami tak ingin menjawabnya, kami mencari cara untuk melupakan jenis pertanyaan seperti itu. Kalau jari jempol kegetok palu sakit rasanya’. Berangkat dari uraian-uraian tersebut, Fitri Setyaningsih (Koreografer) mengangkat tiga buah karya yang mendobrak konvensi tari yang ada selama ini. Dengan mengambil pendukung yang bukan berprofesi sebagai penari, ia menampilkan pertunjukan yang tak kalah menarik dengan tari-tarian lainnya di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang.
Karya-karya tersebut merupakan tiga repertoar yang menceritakan kisah-kisah sederhana dari kehidupan. Namun agaknya, Fitri tidak mengkhususkan sesuatu yang spesial dari muatan ceritanya akan tetapi tawaran gadis tomboy berusia dua puluh sembilan tahun ini justru pada tampilan, penggunaan teknik yang diperoleh dari pengalaman realitas (empiris). Fitri mengaku tidak pernah ingin membahas femenimisme, kendati beberapa audience mengatakan bahwa karya ini sangat potensial untuk diberi sebuah muatan khusus seperti feminisme. ‘saya tidak menegaskan sesuatu secara pasti, karena secara pribadi saya tidak pernah mempermaslaahkan feminis. Terserah saja kepada penonton untuk menyikapinya seperti apa.’ jawabnya sesaat setelah diwawancarai.
Gadis jebolan STSI Solo ini, mengaku jenuh dengan latihan-latihan rutin yang menyulitkan pada saat ia berhadapan dengan penarinya yang bukan penari. ‘keseluruhan teknik merupakan apa yang telah dialami dan dirasakan olehpenari dalam keseharian, hanya saja bagaimana mengkomposisikan hal tersebut sehingga menjadi karya tari.’ bahkan menurut penuturannya, saat memberikan teknik mendek (kaki ditekuk) para penari malah kewalahan.
Koreografer sendiri imgim merasa terbebas dari konvesi-konvensi yang mengikat tentang pementasan sebuah karya tari, sehiongga penari tidak terbebani dengan ragam konvensi. Pendapatnya didukung oleh Afrizal Malna, selaku penata setting.’yang terpenting adalah tari bukan tubuh penari, akan tetapi tari ada dalam diri seseorang. Koreografer kebanyakan merasa takut bila mencari bentuk baru, mereka akan berfikir banyak hal yang akan menjadi batu sandungan sehingga karya tari tidak dapat berkembang dengan baik’, demikian yang diungkapkan oleh Afrizal dalam diskusinya.
Mengenai setting yang didominasi oleh warna biru, menurut Afrizal adalah keinginan untuk merubah kebiasaan panggung dengan warna hitam, seolah-olah panggung harus identik dengan warna hitam. Menurutnya setting harus berperan di belakang karena penggunaan dekorasi yang berlebihan akan membunuh ruang dan menjadi teks pertunjukan yang kaku.
Afrizal yang juga seorang penyair dan penulis nasional ini menambahkan bahwa penari seharusnya bergerak di atas panggung dan tidak menyadari bahwa mereka sedang menari, sehingga penari merasa menjiwai tubuh tari tersebut.
Visual pertunjukan tari yang disponsori oleh Yayasan Kelola ini menarik emosi untuk terdiam sejenak melihat keseluruhan pementasan hingga selesai. Bahkan penonton masih setia dengan bangku tontonnya sampai dibukanya ruang untuk diskusi. Karya yang menjadi banyak sorotan pertanyaan penonton adalah karya yang ketiga, yaitu ‘Beras Merah’. Karya ini memberikan sebuah teks yang tegas, yaitu sebuah samsak tinju yang berwarna merah. Teks tersebut menggambarkan sebuah simbol dari batang rahim yang terustersakiti saat menstruasi tiba. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk memaknai beberapa ikon gerak yang dihadirkan oleh para penari.
Tarian ini juga memberikan kesan unik ketika koreografer melakukan pembocoran ruang. Penonton menyaksikan penari yang mengganti kostum di empat sudut panggung proscenium Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang. Keseluruhan tari memiliki kecendrungan memakai gerak level rendah, dengan teknik tumpuan pada lutut. Bahkan karya tari ini tergolong pemakai simbol-simbol yang kreatif dan inovatif.
Tepatnya pada tanggal 10 November 2007 kemarin, pementasan ini berjalan dengan lancar. Sebelumnya telah diadakan seminar yang membahas tentang tari di Indonesia dengan pembicara Indra Utama dari STSI Padangpanjang, Edi Utama dari Taman Budaya Sumatera Barat dan Afrizal Malna serta Fitri Setyaningsih. Seminar yang berdurasi kuarng lbih dua jam ini sangat menambah pemahaman insan-insan tari khususnya di STSI Padangpanjang agar lebih cermat lagi tentang pembahasan konsep performing art yang tengah menjamur.
Secara garis besar, pementasan yang sebelumnya telah dipentaskan di Solo, Medan, Jakarta ini tergolong sukses. Hal ini terlihat dari antusiasme penonton yang sangat beragam. Bentuk pencarian gerak oleh koreografer terhadap bentuk tubuh tari nampaknya belum mencapai finalnya. Fitri sendiri mengatakan bahwa tontonan yang ia suguhkan tidak pada tubuh penari, akan tetapi tubuh tari itu sendiri, lalu yang mana tubuh tari itu? Namun demikian, masukan dan kritikan dari hasil diskusi pada malam itu dapat dijadikan sebagai semacam evaluasi dan proses berfikir untuk ke depan. Sukses untuk Fitri, koreografer muda berbakat Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar