Label

Minggu, 12 Desember 2010

Penyair berani bercarut marut atau tengah kehilangan identitasnya sendiri



Oleh: Liza
Berbicara tentang ranah sastra, maka kekuatannya adalah bahasa. Seorang penyair menjadi penggerak kekuatan sastra dengan keindahan bahasanya. Seperti sebuah pelabuhan, kapal berlayar dan berlabuh di dermaga. Maka pelaut mengarungi laut dengan bekal akan kembali pada dermaganya. Begitu pun dengan seorang penyair, ia jembatani pemikiran dengan realita yang bergulir. Ia menjadikan hal yang tersurat menjadi tersirat, begitu pun sebaliknya. Ia menjadi awal catatan perjalanan hidup dan perputaran alam karena perputaran itu akan kembali pada awal kembali.
Jika boleh meminjam istilah seorang nara sumber dalam diskusi pada acara peluncuran Antologi Puisi Penyair Muda Riau 2010, bahwa di dalam menilai sesuatu jarang kita temukan sebuah keobjektivitasan seseorang. Begitu juga dengan penyair; ia akan menterjemahkan alam dan carut marut kehidupan sesuai dengan kerangka pemikirannya. Bahkan lebih kejamnya lagi, ketika sebuah puisi telah rampung maka si penyair mati. Hal ini menggambarkan bahwa seorang penyair itu mempunyai hak untuk melepaskan diri dari karya yang dihasilkannya sehingga semua penikmat sastra berusaha untuk menikmatinya.
Kondisi serupa dikehendaki sebuah visualisasi puisi yang beberapa waktu yang lalu (11 – 12 – 2010) telah digelar oleh Lab. Teater AKMR (Akademi Kesenian Melayu Riau) di Taman Budaya Propinsi Riau. Visual atas puisi yang ditulis oleh saudara Husin yang juga salah seorang pendiri Taman Belajar yang diberi nama AKAR (Akademi Rakyat) berjudul ‘Teriakan-teriakan Kematian’ telah membuat resah sebagian pemikiran para tetua sastrawan/penyair di Riau saat menyaksikan pertunjukan yang berdurasi kurang lebih 15 menit itu. Sang kreator ide telah mengisyaratkan gelitik berbeda dalam menyikapi kegelisahan kaum proletar terhadap kondisi yang menghempas impian mereka, para tiran yang tega membangun keinginan di atas siksaan yang berkepanjangan.
Pada hakikatnya visualisasi ini bermaksud hendak membangunkan geliat kesenimanan para pekerja seni di Riau khususnya di pekanbaru untuk dapat sama-sama menilik lebih peka sebuah realita. Namun sebagai catatan penting bagi kita semua khususnya Lab. Teater bahwa kekinian sastra di tanah lancang kuning masih mengharapkan memorian terhadap romantisme puitik yang tersaji di setiap kata yang dijalin oleh si penyair; mungkin belum menghendaki hentakan suara yang membisingkan telinga serta ribuan caci maki yang tak terstruktur dalam harmonisasi sajak.
Barangkali inilah catatan awal bagi Prilaku Para Tiran, sungguh menjadi penyegar suasana namun ingat bahwa evoria bahasa Indonesia berakar dari bahasa melayu, sehingga jika bukan kaum melayu sendiri yang mengenangnya siapa lagi. Namun susah untuk membedakan sebuah keterkekangan dengan sebuah pemikiran cermat dan cerdas tentang sebuah etika dan estetika bahasa dalam sebuah puisi.
Tak ada kata bagi seorang penyair bahwa ia sedang dilanda krisis bahasa atau bahkan lebih gawat lagi ia sedang kehilangan identitasnya. Sekali lagi, identitas yang mana? Jika hal ini dipeributkankan oleh sebahagian orang, sedangkan identitas kemelayuan itu sendiri tidak lagi tercermin dalam tutur kata ucap seorang budak melayu, etika berpakaian itu sudah lama ditinggalkan oleh budak melayu yang tengah tergila-gila dengan harajuku. Biarkanlah aliran itu mengalir tanpa dipaksa harus mengalir atau bermuara ke mana pun.

Senin, 01 November 2010

Mentawai; You are not a lone!


Oleh: Liza
Seperti tak ingin ketinggalan untuk berduka, Pekanbaru dalam pengamatan terasa sangat dingin dan cuaca sangat tidak bersahabat. Namun hal ini tak menyurutkan keinginan untuk tetap beraktivitas. Pekanbaru pada malam hari adalah sebuah gairah kehidupan yang tak akan pernah selesai, begitu juga dengan kecemasan dan keprihatinan beberapa kalangan peduli bencana Mentawai dan Jogjakarta. Minggu sore (31/10/10) tepat pukul 16.00 wib di pelataran parkir depan Purna MTQ Bandar Serai (Seni Raja Ali) Pekanbaru, beberapa event organize di Pekanbaru seperti Xcom, Mara dan yang lainnya menyuguhkan konsep acara yang bertema “ Mentawai; you are not alone” sebagai bentuk penggalangan solidaritas yang tinggi bagi para korban bencana Mentawai.
Berbagai bentuk pertunjukan seni yang digelar untuk menyemarakkan kegiatan sosial ini, di antaranya ensamble strings dari penggiat seni musik AKMR (Akademi Kesenian Melayu Riau), performance band dan pertunjukan teater. Sebuah pertunjukan teater eksplorasi yang berjudul Warning (karya Husin, S.Sn) menjadi pilihan mereka. Teater yang berdurasi lebih kurang satu jam ini menjadi penutup yang sangat apresiatif bagi para pengunjung atau penonton yang sempat menikmati saat itu.
Karya Warning ini pernah dipentaskan beberapa saat yang lalu di salah satu event temu teater remaja di Kota Bogor, Jawa Barat (23/10/10). Dengan konsep teater eksplorasi, sang penulis naskah sekaligus sutradaranya ini menyatakan bentuk kepedulian dan kritik sosial terhadap persoalan alam, manusia dan ketidakseimbangannya melalui pencarian ide dan simbol gerak yang mewakili jeritan dan sumpah serapah alam terhadap manusia.
Seperti salah satu dendang dialog yang cukup menarik bahwa alam menyumpahi manusia yang tak lagi menghadirkan keseimbangan dalam kehidupan. Manusia sibuk dengan permasalahan yang semakin hari semakin komplit. Mulai dari ilegal logging, eksploitasi hutan dan lain sebagainya. Berangkat dari permasalahan inilah kesedihan Indonesia terhadap Mentawai dicoba untuk alirkan energi positifnya. Berkaca dari pengalaman yang tengah terjadi, seharusnya cobaan ini menjadi cambuk bagi setiap Kita yang berpikir bahwa bencana itu dari Kita, oleh Kita dan untuk Kita.
Tepat pukul 22.30 wib, Karya Warning mengantar penonton semakin peka terhadap kondisi alam hari ini. Setidaknya sang sutradara mengajak Kita merefleksi beberapa diri, bahwa Peduli Mentawai dan Jogjakarta tidak hanya sekedar wisata bencana namum lebih dari itu.

Senin, 26 April 2010

Cintailah Bumi bukan sekedar perenungan (Catatan Performing Art Mahasiswa AKMR Pekanbaru dalam memperingati Hari Bumi Sedunia 2010)

Oleh: Liza

Beginilah cara seniman mengekspresikan kegundahannya melihat bumi mulai merana dengan ketuaanya. ada hal yang sering menjadi gelitik pemikiran; disaat para pemilik modal berburu wilayah baru yang tepat untuk dijadikan lahan usaha dengan cerobong asap nan gagah berdiri dan muntahan limbah nan mematikan, owner2 gedung menjulang tinggi dengan kemegahan gedungnya yang full kaca, mereka seolah lupa bahwa hijau itu damai dan damai itu sejuk.maka yang sejuk itu sehat dan yang sehat itu udara yang segar, sampah yang terorganisir dan hutan yang perawan.
terlepas dari pemahaman sebuah bentuk konstruksi dari tatanan kota cosmopolitan, ruang gerak makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan seakan terjepit oleh kepentingan manusia yang tengah berpesta dengan keagungan mahakaryanya dalam menyulap bumi menjadi bola kaca yang kaku; dimana untuk bernapas dengan sehat saja harus membayar mahal hal itu... sungguh ironis sekali jika dipikir-pikir. kemajuan teknologi dan keagungan ilmu pengetahuan malah membuat manusia menjadi tidak beradab dan tidak manusiawi..
jika kota besar berkutat dengan masalah banjir yang tak berkesudahan, kota-kota kecil mulai meramaikan siaran berita televisi, media massa dan elektronik lainnya dengan hebohnya masalah longsor dan bencana lainnya.. jika ditilk kembali lebih ironis lagi dengan pulau besar yang menurut data dari pihak dinas kehutanan mempunyai hutan tropis yang perawan.. ini hanya kamuflase saja, bahkan lebih parah lagi dengan kasus di pulau sumatera. berita bahwa banyaknya binatang buas yang berada dihutan2 tropis ini mulai mengamuk dan menyerang pemukiman serta asset perkebunan dan ladang warga tak terlepas dari ulah masyarakat itu sendiri..
harus berapa lama lagi bumi menahan seringai kesakitannya? sampai kapan kita harus menanggung kemarahan bumi terhadap apa yang telah kita perbuat terhadapnya?
kegelisahan inilah yang ditransformasi oleh beberapa rekan-rekan dari Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dalam bentuk Performing Art di pelataran Gedung Idrus Tin-Tin Bandar Serai (25 April 2010). jam menunjukkan pukul 16.09 waktu setempat, gebug-kan gendang mulai mencuri perhatian setiap pengunjung pelataran ini. alhasil performing art yang bertajuk Cintailah Bumi dalam rangka memperingati Hari Bumi Sedunia ini berhasil menjadi kritik terhadap kondisi bumi hari ini./span>Belasan pemain yang terlibat dalam kegiatan ini cukup menujukkan aksi-aksi yang menyimbolkan bahwa mereka adalah unsur2 hayati yang menjadi saksi kehancuran bumi oleh ulah manusia itu sendiri. terlihat dari body painting yang mereka ciptakan, ada yang mewakili unsur tanah dengan warna merah kecoklatan, unsur tumbuhan dengan warna hijau. warna putih seakan mempertegas kita dengan unsur udara dan air serta warna merah yang menjadi simbol dari unsur api.
performing art yang berdurasi lebih kurang 45 menit ini seakan mengkomunikasikan kepada penikmatnya bahwa kerusakan pada setiap ekosistem alam itu adalah nyata dan telah berada pada tingkatan yang berat.
secara keseluruhan materi yang yang dicoba dieksplorasi dengan berbagai ekspresi tubuh semacam spirit dari capoera, gerak-gerak yang mengalir ini dikombinasikan dengan banyolan khas melayu yang mengkritik kondisi bumi hari ini dengan banyolan yang mengundang tawa para pengunjung.
secara keseluruhan telah berhasil meskipun pada bagian tertentu perlu ditekankan lagi karena kesadaran bagi pengunjung itu penting, jika tidak memikirkan itu maka siap-siaplah dengan performing art yang pulang sia-sia. tapi setidaknya Mahasiswa AKMR Pekanbaru ini telah mencoba dan menyisakan pertanyaan kecil disudut hati para penikmatnya sore itu "Bagaimana bisa Kami menyelamatkan Bumi, jika sampah plastik bekas bungkus makanan yang Kami makan saja tak sanggup untuk Kami buang pada tempatnya"
akhirnya penghargaan terhadap hari bumi itu hanya sekedar perenungan saja melainkan adalah bekera keras untuk menjadikan buang sampah pada tempatnya, menanam pohon sedari usian dini dan menjaga keseimbangan ekosistem alam itu menjadi sebuah rutinitas.