Label

Rabu, 10 Juni 2009

Analisis Naskah Kemerdekaan Wisran Hadi

Oleh: Phie2t

Berbicara tentang kemerdekaan akan menjadi perdebatan panjang dan tidak akan ada usainya. Kemerdekaan secara universal merupakan kebebasan berpikir dan bertindak namun tidak serta-merta memunculkan keegoisan. Kemerdekaan menuntut seseorang untuk dapat adil dalam memutuskan sesuatu yang dianggap perlu tanpa membuat orang lain merasa dirugikan. Setidaknya orang yang mengalami perubahan akan menginginkan hidup dan pola kehidupannya tidak tertindas bahkan dirugikan dari pihak manapun. Begitu pula sebaliknya mereka berusaha untuk tidak membuat orang merasa dirugikan.
Persoalan perang, ketertindasan, keegoisan, kekuasaan dan sebagainya dapat dituangkan ke dalam sebuah karya seni misalnya teater. Banyak naskah teater yang berangkat dari permasalahan kesenjangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Pementasan teater diharapkan mampu menjadi refleksi kehidupan bagi penontonnya. Salah satu dari banyak naskah dan pertunjukan yang berbicara tentang kritik sosial seperti ‘Kemerdekaan’ karya Wisran Hadi. Naskah ini ditulis pada zaman pergerakaan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksud oleh penulis naskah memiliki ambiguitas makna. Arahan masalah yang diperbincangkan di dalam naskah menjadi sangat kompleks ketika permasalahan kemerdekaan tidak hanya identik dengan perang fisik seperti perang senjata. Namun hal ini dapat dirubah sebagai pemaknaan panjang terhadap sebuah kebebasan, baik bertindak maupun berpikir.
Persoalan kemerdekaan akan dapat kita temukan perbedaannya pada sebuah garapan Akbaruddin pada Pekan Apresiasi Teater (PAT) II (Desember 2005) yang berjudul ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ merupakan dekonstruksi naskah ‘Kemerdekaan’ karya Wisran Hadi. Arahan persoalan lebih kepada persoalan perempuan, dimana posisi perempuan yang terjepit antara kodrat dan impian.

Kesatuan Unsur Insterinsik Naskah merupakan Pijakan Awal sebuah Pertunjukan.
Unsur insterinsik dalam sebuah sastra merupakan pembahasan terhadap unsur yang membangun karya yang berasal dari ‘tubuh’nya sendiri. Unsur insterinsik menjadi penting ketika kita akan melihat hubungan yang jelas masing-masing unsur. Arti kata, unsur insterinsik sebuah karya sastra harus saling berkaitan untuk mendirikan sebuah ‘bangunan’ yang kokoh, yaitu naskah yang menarik.


1. Tema/Amanat
Tema merupakan pokok pikiran pengarang yang merupakan patokan uraian dalam suatu tulisan. Tema adalah inti permasalahan yang ingin disampaikan oleh penulis/pengarang lewat karyanya.
Lewat karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’, sutradara ingin menyampaikan sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh seorang sutradara laki-laki tentang pandangan objektif dalam permasalahan perempuan. Menurut versi pengarang, tema dari naskah asli adalah manusia tidak akan pernah mencapai sebuah kemerdekaan ketika masih terikat norma, adat bahkan kekuasaan. Sedangkan interpretasi Akbaruddin sebagai sutradara lebih diarahkan pada konteks perempuan. Hal ini dapat terlihat dalam perubahan wujud pertunjukan yang membicarakan permasalahan perempuan.
Pernyataan di atas dapat dibuktikan lewat potongan dialog yang diucapkan oleh tokoh sebagai berikut:
Tua (A) : Apa kau tahu kapan selesainya perjuangan seperti ini.
Muda (B) : Pasti ada waktu untuk sebuah emansipasi.
(A) : Tapi bagaimana dengan keadaan kita sekarang? Bagaimana mengimbangi kodrat mereka dengan keadaan kita sekarang? Bila tak ada kekuatan yang seimbang, kebebasan yang kita perjuangkan tidak akan ada hasilnya. Saat ini persoalan emansipasi atau kebebasan dutentukan oleh nasib atau kodrat. Oh, aku tak tahu lagi berapa lama keadaan seperti ini ini berakhir. Aku tak tahu berapa sudah jumlah teman-teman kita teraniaya, menjadi korban keganasan nafsu lelaki. Aku tak tahu bagaimana arti seorang istri yang seharusnya dimanjakan, dibanggakan sebagai perhiasan rumah tangga. Segala apa yang dikatakan kitab-kitab adat istiadat serta norma-norma yang kita lakukan. Justru karena keadaan kita sekarang yang belum juga jelas bagaimana akhirnya, sementara aku sudah mendekati titik akhirku. Saat ini aku ingin sebuah kedamaian rumah yang dihuni suami istri dan anak-anak yang hidup tanpa dihantui pertengkaran dan penindasan.

1. Latar (Setting)
Latar adalah persoalan-persoalan yang menyangkut peristiwa dan kurun waktu terjadinya peristiwa dalam lakon. Pemahaman terhadap latar dalam sebuah cerita tidak sekedar fungsi sebagai pemahaman ruang dan tempat peristiwa itu terjadi tetapi juga berkaitan dengan suatu yang melandasi konflik di dalam cerita. Pemahaman terhadap latar juga mengkaji berbagai implikasi psikologi yang ditimbulkan oleh latar para tokoh di dalam lakon.
Latar meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang dan waktu. Latar tempat pada sebuah naskah drama menjelaskan tentang dimana peristiwa ini berlangsung. Sehingga latar tempat memudahkan kita menginterpretasikan sosiokultur, antropologi dan geogarfis dari peristiwa yang dihadirkan melalui dialog dalam lakon.
Latar waktu memberikan pemahaman terhadap waktu kejadian peristiwa di dalam lakon. Apakah lakon terjadi pagi hari, siang atau malam. Latar waktu menjadi indikator dan parameter bagi pengarang terhadap filosofis yang coba ditawarkan juga berkaitan dengan zaman apa peristiwa terjadi di dalam lakon.
Latar suasana adalah sebuah gambaran dari suasana yang dihadirkan pengarang di dalam lakon. Latar suasana merupakan wujud dari alur dan bangunan konflik yang mengandung dramatic action, sehingga audience mendapatkan sugestif dan include dari apa yang tontonnya.
Karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin merupakan salah satu dari sekian banyak pertunjukan yang didekonstruksi dari naskah nonrealisme. Kecendrungan naskah nonrealisme tidak akan merinci setiap detail latar. Bisa saja permasalahan yang dialami tokoh terjadi di suatu ruangan yang aneh, hutan belantara, ruang yang mirip dengan penjara yang berpagar berlapis-lapis sedangkan di luar ruangan itu ada sebuah jalan yang panjang dan bebas tanpa ada pagar penghambat. Hal ini dapat dibuktikan dari potongan dialog:
Tua (A) : Tetaplah di sini, aku akan pergi
Muda (B) : Sayang sekali, yang kau lihat itu tak lebih hanya keinginanmu saja. Tapi ya, benar juga. Siapa yang tidak ingin kebebasan, siapa yang tehan terhadap tekanan, ketakutan dan kesangsian di dalam ruangan ini. Tapi percayalah, kau tak akan menemukan apa-apa di sana.
(A) : Ah, kau seperti tahu saja dimana kebebasan itu?
(B) : Pada suatu tempat, tetapi bukan di ambang pintu itu.
2. Alur (Plot)
Alur dapat diartikan sebagai jalinan cerita atau kerangka dari awal sampai akhir yang merupakan jalinan konflik antara tokoh yang mengalami kontradiktif atau pertentangan. Melalui sebuah alur kita dapat memahami cerita yang coba ditawarkan oleh penggarapnya.
Konflik dalam pertunjukan karya ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin hadir setelah adanya pertentangan dua orang tokoh perempuan terhadap mimpi-mimpi juga trauma sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Di satu sisi perempuan A ingin terlepas dari belenggu hidup yang telah lama dialaminya. Perempuan A merasa jenuh dengan perlakuan yang tidak adil atas dirinya. Selalu menjadi objek nomor dua dalam menentukan keputusan, menjadi pelampiasan kekerasan dalam rumah tangga. Hingga akhirnya perempuan A terdorong untuk melepaskan diri dan segera menghirup udara kebebasan yang diidam-idamkannya.
Perempuan B berusaha meyakinkan dan menyadarkan perempuan A bahwa semua ini hanya mimpi semu. Ia yakin bahwa realitas yang akan diterima tidak akan seindah yang dibayangkan oleh perempuan A. Perempuan B seakan telah bosan dan muak dengan segala modernitas yang dialaminya. Ia bebas melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkan, namun tetap saja hal ini membelenggunya. Modernitas tetap tidak bisa membebaskannya dari diskriminasi hak oleh kaum pria. Kedudukan di tengah masyarakat seakan belum bisa membebaskannya dalam mengambil keputusan.
3. Penokohan/Perwatakan
Penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi; fisiologis, psikologis dan sosiologis. Pelukisan watak pemain dapat langsung dilihat pada dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon, namun banyak juga ditemukan melalui catatan samping.
Pertentangan pemikiran tokoh A dan tokoh B dalam ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin sudah dapat mewakili karakter mereka, karena pengaruh zaman di saat mereka hidup juga mempengaruhi cara menyikapi persoalan.


Hubungan Korelasi antar Unsur Insterinsik ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin
Tema merupakan permasalahan yang ingin sampaikan oleh penulis naskah melalui karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Hubungan tema dengan latar (setting) ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin adalah sebuah pergeseran peristiwa yang terjadi di dalam naskah, secara tidak langsung dipengaruhi oleh tema, baik tema sentral (tema mayor) maupun sub tema (tema minor).
Kemerdekaan yang hakiki itu memang tidak ada, akan tetapi manusia masih saja mencari dan terus mencari hingga mereka hanya akan bertemu dengan sebuah kebosanan dan kejenuhan. Pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ ini berbicara tentang bagaimana seseorang yang telah lapuk oleh sebuah konvensi dan terkadang ingin sekali lepas dari kejenuhannya. Di sisi lain tokoh yang menentang lebih berpikir untuk tetap tenang tanpa mampu berbuat banyak. Mereka terlibat percakapan dan pertempuran pemikiran sehingga secara tidak langsung mereka hanya terjerat alur yang membosankan, berkali-kali mencoba untuk lepas dan bebas dan tiap kali itu pula mereka tidak akan mendapatkan kebahagian yang didambakan.
Tema merupakan ide/gagasan utama yang membingkai permasalahan yang ditonjolkan oleh sebuah karya. Untuk itu, alur merupakan sebuah keterangan yang lebih spesifik jika permasalahan ini terjadi pada suatu kelompok pada suatu daerah yang telah ditentukan. Jika dikaitkan dengan pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin maka hubungan kedua unsur ini akan terlihat jelas pada sosiokultur yang diadaptasi ke sosiokultur Minangkabau. Pertunjukan ini mengangkat persoalan peran dan eksistensi perempuan di Minangkabau (Sumatera Barat)
Hubungan tema, latar dan penokohan juga terlihat dengan bagaimana sikap dan pemikiran tokoh dalam menyikapi persoalan yang mereka hadapi. Keberadaan perempuan itu hanya terlihat sebgai ikon saja di Minangkabau. Mereka tetap tidak mempunyai hak prioritas dalam menentukan keputusan.

Penghadiran Simbol sebagai penyikapan permasalahan perempuan.
Menghadirkan simbol-simbol yang dekat dengan dunia perempuan ternyata dapat membantu sutradara dalam menyampaikan isian yang dihadirkan dalam pertunjukan. Misalnya, menghadirkan dua sisi kehidupan yang berbeda. Di satu sisi tokoh A masih tergolong orang yang tradisional, sedangkan tokoh B sudah berada dalam masa modernitas. Dengan adanya property wajan besar dan tungku tiga batu, setrika dan mejanya, kereta dorong, meja dan alat pemotong daging, kostum dan rias yang berbicara panjang tentang konflik yang dialami oleh kaum perempuan.
Simbol yang dihasilkan oleh setrika mampu menggambarkan kondisi perasaan perempuan akibat konflik yang dialami baik di lingkungan rumah tangga, tempat kerja dan lain sebagainya. Gerak tubuh perempuan B yang menyetrika dirinya merupakan bentuk ungkapan kekecewaan yang terhadap posisi perempuan yang kurang dihargai oleh kaum laki-laki. Walau perempuan itu senantiasa melakukan rutinitas namun imbalan yang diterima bisa saja perlakuan kasar dari pihak laki-laki. Dengan menyetrika diri, kesakitannya yang ingin disampaikan oleh sutradara bukan hanya kesakitan fisik saja namun juga kesakitan psikis.
Ketika menghadirkan simbol kereta bayi dan meja serta pisau pemotong daging juga mewakili perasaan yang dialami perempuan kebanyakan. Dengan adanya modernitas yang dirasakan oleh kaum perempuan, mereka lebih praktis dalam menghadapi persoalan mengurus anak dan keluarga, padahal sebenarnya kaum perempuan akan mengalami konflik dengan hal itu. Kedekatan emosional seorang anak dengan ibunya tidak lagi terasa di saat kehangatan gendongan ibu digantikan dengan keempukan kereta bayi. Begitu juga dengan pekerjaan dapur yang serba instan, hanya membuat perempuan berjarak dengan keluarga mereka.
Pada posisi apapun perempuan akan merasa terjepit. Perempuan yang tidak mempunyai pendidikan dan pengalaman hidup yang banyak hanya akan menerima perlakuan semena-mena dari lelaki. Begitu pun sebaliknya, perempuan yang matang dalam karier dan pendidikan akan dianggap dapat mengancam harga diri suaminya jika porsi kariernya lebih banyak dari suami. Dianggap tidak lagi memikirkan rutinitas seagai seorang istri dan ibu dalam rumahnya.
Padahal hal ini bisa saja diseimbangkan dengan mencari titik temu permasalahan. Salah satu cara yang dilakukan misalnya membicarakannya sebagai sebuah diskusi yang sangat objektif dan menghargai pendapat satu sama lain antara seorang perempuan dengan lelaki.

Unsur eksterinsik sebagai suatu pandangan agama, sosial budaya, politik, ekonomi terhadap eksistensi perempuan.
Unsur eksterinsik merupakan unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dari luar karya tersebut, misalnya pandangan penggarap karya dalam menyikapi permasalah yang ditonjolkan dengan melihat kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan, diantaranya aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek agama, aspek politik dan lain sebagainya.
Di dalam pertunjukan ‘Dialog Yang Membentur Batu, Percakapan Yang Tak Pernah Selesai’ sutradara Akbaruddin dapat ditemukan berbagai macam pendapat tentang eksistensi perempuan melalui aspek agama. Di dalam sudut pandang agama, posisi perempuan itu ditentukan kodrat. Perempuan dilahirkan sebagai kaum yang lemah dan berasal dari tulang rusuk lelaki. Perempuan dalam posisi apapun tetap harus dapat menghargai kaum lelaki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hal dibawah ini:
• ‘Mereka wanita shalihah itu yang taat kepada kepada Allah lagi memelihara diri (tidak belaka curang serta memelihara dan rahasia suaminya) ketika suami tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka (mewajibkan suami untuk mempergauli istri dengan baik) Q.S Annisa ayat 34

• Abu hurairah r.a berkata: ‘Rasulullah bersabda, ‘jika wanita melaksanakan shalat fardhu ain, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya maka ia akan masuk sorga dari pintu apa saja yang ia kehendaki’ Hadist riwayat: Ibnu Hibban.


Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam situasi apapun perempuan tidak dapat menghindar dari kodratnya; Menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui serta menghindari rutinitas dan kewajiban dalam mengasuh anak, mencuci, memasak, melayani suami dan kegiatan lainnya.
Jika dilihat dari aspek sosial budaya maka seorang perempuan di Minangkabau merupakan sosok yang menjadi ikon, sehingga sistem matrilineal itu masih digunakan hingga sekarang. Namun pada prakteknya, perempuan tidak mendapatka andil dalam sistem pemerintahan dan mengambil keputusan. Di minangkabau, posisi perempuan sebagai pewaris harta kekayaan hanya sebatas pemilik namun yang mengatur segalanya adalah kaum laki-laki yang disebut dengan Mamak. Mamak mempunyai hak prioritas dalam menjaga kehormatan keluarga saudara perempuannya, termasuk menentukan calon pendamping hidup kemenakannya, penyelesai sengketa perolehan harta warisan dan hal lain yang berbau adat istiadat.
Begitu juga dengan aspek politik ekonomi dan lainnya. Keberadaan perempuan masih bisa dihitung jari andilnya dalam kencah pemerintahan. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh sikap perempuan dalam menghadapi persoalan hidup lebih cenderung mengedepankan perasaan (emosional) dari pada rasional. Walau tidak tertutup kemungkinan ada sebagian perempuan yang mampu menepis statement ini, buktinya Megawati, Indah Supari (Menkes RI) dan masih banyak lagi kaum perempuan yang mampu duduk di kursi perempuan bersama kaum lelaki dan menujukkan eksistensi mereka sebagai perempuan yang smart dan cerdas.

‘ Repertoar 3 Tari di 3 Kota ‘; Kejemuan terhadap Tari Konvensional

Oleh: Phie2t

‘Tubuh itu apa?, tari itu apa? Dan petunjukan itu apa? Kami tak ingin menjawabnya, kami mencari cara untuk melupakan jenis pertanyaan seperti itu. Kalau jari jempol kegetok palu sakit rasanya’. Berangkat dari uraian-uraian tersebut, Fitri Setyaningsih (Koreografer) mengangkat tiga buah karya yang mendobrak konvensi tari yang ada selama ini. Dengan mengambil pendukung yang bukan berprofesi sebagai penari, ia menampilkan pertunjukan yang tak kalah menarik dengan tari-tarian lainnya di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang.
Karya-karya tersebut merupakan tiga repertoar yang menceritakan kisah-kisah sederhana dari kehidupan. Namun agaknya, Fitri tidak mengkhususkan sesuatu yang spesial dari muatan ceritanya akan tetapi tawaran gadis tomboy berusia dua puluh sembilan tahun ini justru pada tampilan, penggunaan teknik yang diperoleh dari pengalaman realitas (empiris). Fitri mengaku tidak pernah ingin membahas femenimisme, kendati beberapa audience mengatakan bahwa karya ini sangat potensial untuk diberi sebuah muatan khusus seperti feminisme. ‘saya tidak menegaskan sesuatu secara pasti, karena secara pribadi saya tidak pernah mempermaslaahkan feminis. Terserah saja kepada penonton untuk menyikapinya seperti apa.’ jawabnya sesaat setelah diwawancarai.
Gadis jebolan STSI Solo ini, mengaku jenuh dengan latihan-latihan rutin yang menyulitkan pada saat ia berhadapan dengan penarinya yang bukan penari. ‘keseluruhan teknik merupakan apa yang telah dialami dan dirasakan olehpenari dalam keseharian, hanya saja bagaimana mengkomposisikan hal tersebut sehingga menjadi karya tari.’ bahkan menurut penuturannya, saat memberikan teknik mendek (kaki ditekuk) para penari malah kewalahan.
Koreografer sendiri imgim merasa terbebas dari konvesi-konvensi yang mengikat tentang pementasan sebuah karya tari, sehiongga penari tidak terbebani dengan ragam konvensi. Pendapatnya didukung oleh Afrizal Malna, selaku penata setting.’yang terpenting adalah tari bukan tubuh penari, akan tetapi tari ada dalam diri seseorang. Koreografer kebanyakan merasa takut bila mencari bentuk baru, mereka akan berfikir banyak hal yang akan menjadi batu sandungan sehingga karya tari tidak dapat berkembang dengan baik’, demikian yang diungkapkan oleh Afrizal dalam diskusinya.
Mengenai setting yang didominasi oleh warna biru, menurut Afrizal adalah keinginan untuk merubah kebiasaan panggung dengan warna hitam, seolah-olah panggung harus identik dengan warna hitam. Menurutnya setting harus berperan di belakang karena penggunaan dekorasi yang berlebihan akan membunuh ruang dan menjadi teks pertunjukan yang kaku.
Afrizal yang juga seorang penyair dan penulis nasional ini menambahkan bahwa penari seharusnya bergerak di atas panggung dan tidak menyadari bahwa mereka sedang menari, sehingga penari merasa menjiwai tubuh tari tersebut.
Visual pertunjukan tari yang disponsori oleh Yayasan Kelola ini menarik emosi untuk terdiam sejenak melihat keseluruhan pementasan hingga selesai. Bahkan penonton masih setia dengan bangku tontonnya sampai dibukanya ruang untuk diskusi. Karya yang menjadi banyak sorotan pertanyaan penonton adalah karya yang ketiga, yaitu ‘Beras Merah’. Karya ini memberikan sebuah teks yang tegas, yaitu sebuah samsak tinju yang berwarna merah. Teks tersebut menggambarkan sebuah simbol dari batang rahim yang terustersakiti saat menstruasi tiba. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk memaknai beberapa ikon gerak yang dihadirkan oleh para penari.
Tarian ini juga memberikan kesan unik ketika koreografer melakukan pembocoran ruang. Penonton menyaksikan penari yang mengganti kostum di empat sudut panggung proscenium Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang. Keseluruhan tari memiliki kecendrungan memakai gerak level rendah, dengan teknik tumpuan pada lutut. Bahkan karya tari ini tergolong pemakai simbol-simbol yang kreatif dan inovatif.
Tepatnya pada tanggal 10 November 2007 kemarin, pementasan ini berjalan dengan lancar. Sebelumnya telah diadakan seminar yang membahas tentang tari di Indonesia dengan pembicara Indra Utama dari STSI Padangpanjang, Edi Utama dari Taman Budaya Sumatera Barat dan Afrizal Malna serta Fitri Setyaningsih. Seminar yang berdurasi kuarng lbih dua jam ini sangat menambah pemahaman insan-insan tari khususnya di STSI Padangpanjang agar lebih cermat lagi tentang pembahasan konsep performing art yang tengah menjamur.
Secara garis besar, pementasan yang sebelumnya telah dipentaskan di Solo, Medan, Jakarta ini tergolong sukses. Hal ini terlihat dari antusiasme penonton yang sangat beragam. Bentuk pencarian gerak oleh koreografer terhadap bentuk tubuh tari nampaknya belum mencapai finalnya. Fitri sendiri mengatakan bahwa tontonan yang ia suguhkan tidak pada tubuh penari, akan tetapi tubuh tari itu sendiri, lalu yang mana tubuh tari itu? Namun demikian, masukan dan kritikan dari hasil diskusi pada malam itu dapat dijadikan sebagai semacam evaluasi dan proses berfikir untuk ke depan. Sukses untuk Fitri, koreografer muda berbakat Indonesia!

Inilah Teater Sumatera Barat Hari Ini


Oleh: Phie2t

Sebuah pementasan teater yang spektakuler, mampu membawa ketegangan otot pikiran para penonton, teater yang bisa memberikan teror bagi semuanya. Inilah ungkapan hampir semua penonton yang memenuhi Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang pada hari Kamis, tanggal 24 Januari 2008 tepatnya pukul 20.00 Wib. Ya, mereka dihadapkan dengan sebuah bentuk teater eksplorasi ‘Zona X (Nyanyian dari Negeri Sunyi) karya/sutradara Afrizal Harun yang mewakili Komunitas Hitam Putih (Sumatera Barat) dalam Pekan Apresiasi Teater III.
Ada sesuatu yang baru yang coba ditawarkan oleh sang sutradara yang juga staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang dalam menyikapi eksistensi teater di Sumatera khususnya Sumatera Barat hari ini yang mulai pasang surut, dalam artian aktivitas keseniannya. Hasilnya, sebuah karya yang inovatif dan mampu mengetengahkan persoalan global dari sudut pandang yang berbeda.
Zona X lahir berkat adanya kegelisahan bersama yang dirasakan oleh setiap personil yang teribat, bahwa dunia sudah terasa membosankan ulah perang. Perang yang dimaksud juga beragam. Secara wacana, perang yang ingin dieksplor oleh Afrizal Harun meliputi peperangan fisik maupun perang secara pemikiran. Perang yang dimaksud juga tidak hanya melibatkan subjek lain, namun dalam bentuk perlawanan bathin seseorang dengan dirinya sendiri. Akhirnya manusia menjadi gelisah dengan kemonotonan hidupnya. Manusia lelah dengan kebisingan hidup.
Konsep panggung arena menjadi pilihan tepat dalam pementasan ‘Zona X’ ini. Penguasaan ruang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal. Berbagai pengeksplorasian terhadap simbol menjadi prioritas teater mini kata ini. Pilihan screen putih mendukung visualisasi multimedia yang memunculkan potongan gambar dampak perang bagi berbagai pihak. Sedangkan scenografi ini dipercayakan kepada Yusril. Ide yang ditawarkannya sangat menghidupkan karya kali ini.
Di sisi lain, kekuatan karya berada pada keaktoran. Afrizal Harun telah memberikan ruang kreativitas bagi aktornya untuk mengeksplor beragam bentuk gerak. Salah satunya, meminjam spirit gerak silat tradisional Pariaman Luambek dan seni bela diri Brazilia Capoera. Merupakan penggabungan dua dinamika gerak yang sangat berbeda secara visual. Luambek merupakan perwakilan jiwa yang tenang dan damai namun tajam, sedangkan Capoera menghasilkan gerak yang tangkas, enerjik dan gesit. Hasilnya menjadi sesuatu yang perlu diperhitungkan.
Malam itu, pementasan ‘Zona X’ hampir tak ada cela sedikitpun. Sutradara berhasil meneror penonton secara visual maupun fisik. Penghadiran property yang menghasilkan efek kebisingan, cipratan air sabun yang berasal dari baskom besar di salah satu sudut panggung, ternyata manjur meneror semua yang ada di dalam gedung.
Jika dilihat segi teks sastra, pementasan ini memang tidak membutuhkan teks naskah sebagai media komunikasi. Secara visual, gerak para aktor telah mewakili hal ini. Gerak telah melahirkan simbol-simbol baru dalam pementasan. Jadi sebagian pendapat mengatakan ada baiknya sutradara memangkas habis dialog yang diucapkan oleh aktor. Sebagian memang terkesan tepat dan perlu, namun pada bagian lain malah membuyarkan konsentrasi penonton. Bukan berarti pementasan ini menyepelekan teks naskah namun hal ini sudah bisa terwakilkan oleh gerak.

‘Topeng Lentur’ Bukti Keseriusan dalam Berkesenian


Oleh: Phie2t

Satu lagi eksistensi teater di Sumatera terlihat dengan adanya Teater Topeng Lentur (Sumatera Selatan). Teater ini masih terbilang baru dalam kegiatan berkesenian. Dengan digawangi oleh Ical Wrisaba (Sutradara), Liza dan Mona (Aktor) teater Topeng Lentur optimis bisa tampil di STSI Padangpanjang untuk memenuhi undangan panitia PAT III dengan membawa pementasan ‘Introgasi Rahim’ karya/sutradara Ical W.
‘Walau masih belum apa-apa, kami sangat bangga punya kesempatan bisa pentas di STSI Padangpanjang’, ungkap Ical W pada sesi diskusi setelah pementasan (Minggu, 28 Januari 2008 di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam STSI Padangpanjang). Kali ini Topeng Lentur memproduksi sebuah pementasan teater yang meminjam spirit teater tutur Ande-Ande (Sumatera Selatan). Dari segi visual tentunya kita sebagai penonton tidak akan menemukan teater tutur itu secara utuh, namun dari segi musik kita bisa merasakannya. Musik yang kebetulan digarap oleh Ical sendiri ternyata dapat menghantarkan penonton pada alur cerita. Ditambah lagi ada adegan yang diisi dendang beberapa bait puisi. Hal ini mampu menambahkan nilai estetika panggung yang coba ditonjolkan oleh sang sutradara.
‘Introgasi Rahim’ bercerita tentang seorang perempuan tua yang semasa muda telah ternoda kesuciannya oleh nafsu seorang pria. Hidupnya seakan penuh dengan malapetaka yang diberikan Tuhan atas perbuatan yang dialaminya. Ia hidup dengan kesunyian dan kehancuran bathin. Hadir seorang anak perempuan yang lahir dari rahim yang tidak dikehendaki itu membuatnya merasa terjepit oleh keadaan. Dendam dan amarah masa lalu yang membuatnya tak bisa membendung segalanya hingga membunuh anak tersebut adalah sebuah jalan pintas yang sangat bijak.
Sepintas lalu karya Ical ini memang tidak ada apanya, tetapi kemasan yang rapih, keseriusan garapan estetika panggung membuat karya ini menjadi sesuatu yang menarik dan bisa dinikmati oleh penonton. Penonton tak perlu mengernyitkan kening di saat menonton seperti pada beberapa pementasan sebelumnya. Apalagi tema cerita yang merupakan realita hari ini disuguhkan dengan sangat dramatis oleh sutradara.
Ical mampu menyikapi realita hari ini yang dihadapi oleh beberapa kaum wanita yang kurang beruntung dalam kehidupannya. Setidaknya karya Ical ini mampu memberikan pesan moral yang sangat berarti bagi kita semua, bagaimana tidak? Perempuan yang kita panggil ibu ternyata tega membunuh anaknya sendiri demi keegoisan dendamnya terhadap takdir tuhan.
Secara visual dan konsep garapan, pementasan ‘Introgasi Rahim’ karya sutradara Ical W tergolong sukses. Sambutan dan teriakan salut bertaburan setelah pementasannya berlangsung. Namun ada beberapa point penting yang harus diingat Ical sebagai seorang sutradara muda berbakat, bahwa sebuah kearifan dalam mencerna saran dan kritikan dari berbagai pihak merupakan modal penting dalam berkesenian. Walaupun tidak semua saran dan kritikan itu dapat kita terima sebagai sebuah hal yang positif.
Sukses untuk teater Topeng Lentur dengan segenap personilnya. Walau bukan berasal dari institusi seni, mereka tetap optimis bahwa pengalaman juga bisa menentukan seseorang berhasil bukan latar belakang pendidikannya saja. Mereka mapu membuktikan keseriusan dalam berkesenian. Salut!

Serunya ‘Bui’ di saat Perempuan Curhat


Oleh: Phie2t

LKK Unimed (Universitas Negeri Medan) mencoba unjuk gigi pada hari ke tiga perayaan Pekan Apresiasi Teater (PAT) III tepatnya pukul 16.00 Wib (21 Januari 2008) di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam. LKK mengusung teater ‘Bui’ karya sutradara ..................... tema yang diketengahkan masih seputar perempuan dan kasus-kasusnya. Seakan pembicaraan dan perdebatan tentang perempuan itu, tidak pernah ada usainya.
Alur mulai bergerak ketika beberapa tahanan perempuan mulai mendapat perdebatan dengan seorang sipir wanita yang mereka namai dengan Inang Boru. Layaknya sipir-sipir yang lain, Inang Boru juga memperlakukan tahanan dengan keras. Bagi tahanan, hal ini sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan mereka tidak terbiasa dengan keheningan dan kesenyapan suasana setelah datangnya tahanan baru. Perempuan itu lebih memilih untuk diam daripada beraktivitas seperti yang lainnya. Konflik mulai naik ketika seorang tahanan yang paling berani mengintrogasi perempuan yang pendiam tadi dengan paksa bak seorang sipir. Tidak berhenti di sana saja, pergerakan alur mulai terjadi ketika perlahan semua tahanan perempuan menceritakan pengalaman pahit hidupnya hingga bisa sampai ke dalam bui.
Jenis teater realisme ini memakai beberapa kultur untuk menjelaskan sosiologi dan antropologi tokoh, misalnya ada tahanan yang berasal dari Batak, Jawa tengah, Betawi, dan lain sebagainya. Ini bisa dirasakan langsung dari dialog yang diucapkan oleh para aktor, mereka medog dengan dialek daerah asal sang tokoh. Tingkat keseriusan aktor masuk kedalam karakter yang diberikan menjadikannya ternyata sungguh di atas panggung.
Tampaknya sutradara perempuan ini memang tertarik untuk mengangkat permasalahan yang dirasakan oleh perempuan ke permukaan. Hal ini dipertegas oleh sutradara saat forum diskusi berlangsung, ‘setidaknya karakteristik peran telah mewakilkan suara perempuan dari seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai nasib yang sama yaitu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dan dalam rumat tangga (KDRT) itu tidak pernah memilih suku, warna kulit, serta tingkat pendidikan’, ungkapnya disela diskusi.
Sebuah kemasan pementasan yang sedehana namun menarik dalam wacana ini, secara garis besar esensinya tidak tersampaikan kepada penonton. Secara visual memang karya ini tidak melakukan pen-diskriminasi-an terhadap salah satu jenis gender, namun tetap saja penyikapan permasalahan membuat kaum perempuan terkesan tidak sanggup melawan dengan akal sehat (rasional) atau lebih emosional. Salah satu penyikapan kaum perempuan terhadap masalahnya seperti yang dilakukan seorang tokoh pembantu yang mendapat perlakuan anormatif dan asusila dari majikannya. Perlawanan terjadi ketika ia tahu bahwa tengah mengandung anak dari hasil hubungan gelapnya dan sebagai solusi hanya membunuh sang bayi yang tidak pernah salah.
Teater sebagai sarana edukatif, jelas pementasan ini tidak mendidik penonton untuk mempunyai pola pikir yang berbeda. Kasus kedua didalam pementasan ini misalnya, seorang anak yang tega membunuh ayah kandungnya karean kalut saat ayahnya terus melakukan kekerasan terhadap ibu mereka. Di dalam pementasan Bui ini masih banyak contoh yang lain. Seharusnya perlawanan itu tidak hanya dengan hal ini, penyadaran bahwa perempuan mempunyai hak untuk melapor segala bentuk kekerasan pada KOMNASHAM.
Sehingga fungsi teater kembali berubah sebagai fungsi hiburan. Penonton hanya mendapat memorian terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dari pementasan yang disuguhkan. Apalagi lawakan para aktor menjadi kekuatan pementasan ini. Penonton terhibur dengan beberapa dialog atau ucapan aktor dengan logat daerah yang mereka perankan. Sukses untuk teater LKK Unimed, setidaknya mereka telah berpartisipasi secara positif dalam kegiatan PAT III ini.

‘Pensucian dosa disebuah rumah pencucian’


Oleh: Phie2t

‘Dosa telah berkubang di antara air cucian. Rahasia tersuruk di sela kain jemuran. Jika mimpi telah jadi kenyataan, ia arus dihancurkan maka sebuah penyelesaian tidak akan ada’. Sepenggal sinopsis getir dari pementasan naskah ‘Pencucian’ (David Guerdon) sutradara Rahma Della Nasution ini membawa kita masuk ke dalam karya teater yang beraliran surealis tanpa berkedip mata.
Realita kehidupan sebuah keluarga yang memang keseharian mempunyai aktivitas sebagai rumah cuci. Di dalam rumah itu hidup seorang janda tua yang mempunyai sepasang anak yang sudah dewasa, beberapa pembantu perempuan dan menantu dari anak perempuannya yang tengah mengandung. Persoalan dalam rumah ini ,muncul ketika rahasia kecacatan anak laki-lakinya diperdebatkan oleh menantu perempuan janda tadi, hingga datang seorang pengelola sirkus yang ingin menawarkan pekerjaan untuk anak laki-laki janda tersebut. Semua setuju kecuali janda itu karena menurutnya ini adalah sebuah pembocoran aib yang telah lama disembunyikannya.
Teater “pencucian’ merupakan persembahan dari teater Intro (Payakumbuh). Sutradara memilih metode pelatihan akting yang presentatif. Sayangnya pada visual pementasan ini sangat heboh dengan penghadiran aktor yang hampir mempunyai karakteristik sama keseluruhannya. Penegasan karakter tidak terlihat luwes apalagi dipacu oleh speed tempo yang tinggi. Seakan-akan aktor tidak menyadari bahwa penonton tengah menikmati pementasan.
Pada session diskusi setelah pementasan (hari Selasa, tanggal 22 Januari 2008, pukul 20.20 Wib di Gedung Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang) , beberapa pertanyaan dilontarkan oleh penanggap sehubungan dengan karya yang baru saja dipentaskan. Di antaranya adalah mengenai masalah keaktoran, tanggapan dari sutradara bahwa kecelakaan panggung yang sangat vital ini adalah disengaja dengan alasan untuk memperhatikan jalannya pertunjukan yang relatif lama. Penuturan dari sutradara dapat diterima karena alasan pertunjukan yang berlangsung hampir satu setengah jam.
Sutradara juga melupakan beberapa hal kecil misalnya, detil pertunjukan yang dibatasi oleh beberapa pergantian adegan yang ditandai dengan lampu fade out. Karena hal ini akan sangat mengganggu sekali apabila tidak dipertimbangkan pembeda waktu dan suasana lewat penghadiran setting panggung. Jika tidak dipertimbangkan maka akan menggangu konsetrasi penonton.
Artistik merupakan element penting dalam sebuah pementasan, sehingga semuanya harus dipersiapkan dengan rinci, baik lighting maupun setting panggung dan property panggung. Di saat lampu fade in, sisi kiri panggung telah terisi dengan satu drum penampung air lengkap dengan beberapa buah baskom pencuci pakaian. Batas ruang hanya berupa kain horden tanpa pintu, sedangkan penjemuran kain mendominasi panggung dengan warna putih dan merah.
Secara esensi, ada beberapa point penting yang terolah oleh sang sutradara. Semacam penyampain esensi kepada penonton. Walau bagaimanapun juga, teater surealis mempunyai makna simbolis pada visual pertunjukan. Apa pun bentuk simbol di atas panggung akan menghadirkan pemaknaan baru.

Timot Kesambet dari Bangka Belitung


Oleh: Phie2t

Timot kesambet judul teater tradisional yang dipentaskan oleh Perkumpulan Seni Melayu Warisan Budaya (PSMWB), Propinsi Bangka Belitung pada hari 3 Pekan Apresiasi Teater III tepatnya hari Selasa tanggal 22 Januari 2008 lalu. Timot merupakan nama seorang anak raja yang ‘kesambet’ (dalam bahasa bangka, disebut dengan ‘terumpak’). Penggarapan teater ini merupakan ide sutradara RDO. DR. Ibnu Hajar, Emha yang merupakan pemerhati kesenian tradisional yang berdimisili di Bangka Belitung.
‘Timot Kesambet’ berangkat dari esensi teater tutur Abdul Muluk. Namun pada penampilannya mengadaptasi beberapa cerita-cerita baru. Pada PAT III kali ini, cerita yang diusung masih seputar masalah sosial masyarakat. Timot seorang anak seorang raja yang berkuasa di tanah Melayu. Sebagai seorang gadis yang beranjak dewasa, seharusnya Timot berkelakuan seperti gadis-gadis kebanyakan, namun tidak pada kenyataannya. Anak raja ini memiliki keterbelakangan mental alias sakit jiwa. Kelakuannya melebihi batas wajar tingkah laku dan pola pikir orang yang normal. Suatu hari raja yang cemas ingin menyembuhkan putrinya dari segala derita hidup. Salah satu cara yang cara yang ditempuh oleh pihak kerajaan adalah mencari orang yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Timot, walaupun pada akhirnya Timot tak kunjung sembuh. Seluruh keluarga kerajaan bertambah sibuk, kacau dan sedih.
Pada ending, pertunjukan yang berdurasi lebih kurang 45 menit ini terasa menggantung. Di saat penonton masih menganggap pertunjukan masih akan berlangsung lama, pertunjukan dipatahkan oleh resolusi cerita yang kurang jelas. Menurut penuturan Arsalim, sang penata artistik yang juga pemeran tokoh Raja, cerita memang dibuat menggantung tanpa akhir yang jelas. Sutradara menginginkan bentuk yang seperti ini agar seluruh penonton bisa menginterpretasikan dengan beragam ending. Namun begitu, tetap saja penonton tidak nyaman dengan akhir ceritanya
Seperti ciri khas teater tradisional lainnya, teater Abdul Muluk yang berjudul ‘Timot Kesambet’ ini dibawakan dengan gaya lawakan agar suasana yang dibangun tidak terasa monoton, seperti karakter pesuruh raja, menteri kerajaan yang kocak dan lain sebagainya. Berbagai pemain pendukung juga difungsikan sebagai pemusik dan penari. Hal ini dilakukan oleh sutradara sebagai sebuah konsepsi panggung teater tradisional yang memang menyatu, dalam arti kata seluruh element pendukung pertunjukan merupakan suatu kesatuan yang utuh di atas panggung. Sebuah cerita yang sederhana namun sarat makna.
Sebuah kemasan seni pertunjukan tradisional berfungsi sebagai media edukatif bagi penikmatnya. Salah satunya adalah memberikan gambaran jelas sebuah fenomena yang dialami sebuah keluarga. Persoalan yang datang tidak pernah memilih-milih kondisi seseorang dan strata seseorang. Jika permasalahan datang, kita sebagai umat manusia hanya bisa berusaha, yang akan menentukannya adalah Allah SWT. Sehingga semua orang bisa belajar dari pengalaman cerita dalam pementasan tersebut.
Pertunjukan dari PSMWB Bangka Belitung ini melibatkan 13 orang personil yang pada keseharian mereka ada yang profesi sebagai pengamat kesenian, guru, pelajar dan wiraswata. Kelompok kesenian yang memang memfokuskan aktivitas keseniannya di bidang kesenian tradisional lebih dari 40 tahun lalu ini dapat hadir di PAT III sebagai perwakilan dari Kegubernuran Bangka Belitung.

Teater Oranye, Jambi ‘Demam’


Oleh: Phie2t

Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya dirasakan atas cita rasa masyarakat lingkungannya. Cita rasa di sini memiliki pengertian yang luas, termasuk “nilai kehidupan tradisi”, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda.
Entah apa jadinya jika pelimpahan warisan itu tidak terjadi sampai hari ini. Remaja yang suka dengan musik rock, remaja yang suka aliran musik R&B dan masih banyak yang lainnya hanya tahu dengan nuansa ke-barat-baratannya saja. Tidak banyak yang tahu dan ingin tahu kesenian tradisionalnya.
Walau pada dasarnya kesenian tradisional merupakan media hiburan dan diselenggarakan untuk upacara keagamaan saja, tetapi kesenian tradisonal juga mempunyai daya tarik tersendiri jika nikmati. Berangkat dari pemahaman inilah, Ari Ce’ Gu (dari teater Oranye-Jambi) begitu ia disapa oleh banyak orang, mempersembahkan karyanya pada event Pekan Apresiasi Teater III, tanggal 21 Januari 2008 di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang.
Sesuai dengan tema yang diusung panitia PAT III kali ini yaitu Melihat Teater Indonesia dari Sumatera, pertunjukan ‘Demam’ yang digarap oleh Ari Ce’ Gu dapat memberikan apresiasi tentang kesenian tradisional Indonesia khususnya di Sumatera kepada audience pada malam itu.
Karya ‘demam’ merupakan kemasan yang segar bagi audience karena berangkat dari teater tutur yang berasal dari daerah Jambi (Dul Muluk). Karya ini bercerita tentang seorang pria yang mempunyai 2 orang anak dari 2 istri, yang mana sang anak lebih suka dengan hal-hal yang berbau modern dan ke-barat-baratan. Pria ini sebenarnya tidak menginginkan hal ini. Ia lebih suka jika anak-anaknya tahu dan bangga dengan kesenian tradisional yang tak kalah menariknya. Di samping itu persoalan lain datang ketika kedua istrinya tak lagi mau menerima pria ini karena kebangkrutan hidupnya dan hanya meninggalkan kesombongan masa lalu. Untuk membujuk para istri maka ia pura-pura ‘demam’.
Pementasan teater dari Teater Oranye ini tampil pada hari ketiga Pekan Apresiasi Teater (PAT) III, tepatnya pada hari Selasa, 21 Januari 2008 lalu. Pementasan nya melibatkan beberapa mahasiswa Jurusan Teater STSI Padangpanjang.
Banyak pesan moral yang disuguhkan oleh sutradara dalam karyanya. Sebuah tampilan sederhana namun sarat makna. Ada hal yang paling penting dalam pemetasan itu, bahwa kesenian tradisional itu tidak akan pernah pudar kapanpun juga.

Bila Dendam Ophelia Mulai Berdarah


Oleh: Phie2t

Suasana panggung yang lebih dinominasi oleh warna-warna pucat seperti biru dan putih, menghantar penonton pada sebuah pertunjukan teater eksplorasi yang berjudul ‘Ophelia dalam Lentera’ karya sutradara Cut Rosa. Pertunjukan yang berdurasi lebih kurang 45 menit ini terasa seperti kolaborasi seni. Di beberapa bagian pertunjukan, sutradara menyelipkan beberapa koreografi. Entah apa yang ingin disampaikan oleh sang sutaradara lewat karyanya kali ini.
Cut Rosa dikenal sebagai sutradara perempuan yang mempunyai ide dan gagasan yang cukup cemerlang dalam menggarap teater. Keseriusan yang telah menghantarkannya pada karya ‘Ophelia dalam Lentera’ yang dapat dijadikan sebagai bentuk apresiasi baru bagi penikmat dan kritikus teater.
Mengamati perkembangan teater moderen Indonesia, ada bebarapa permasalahan yang cukup menarik untuk diamati dan dibicarakan. Permasalahan yang dimaksud, diantaranya adalah munculnya kecendrungan untuk mencari bentuk baru dalam proses berteater. Demikian juga dengan karya ini (Ophelia dalam Lentera), sutradaranya ingin mencari sesuatu yang berbeda untuk karya teaternya yang berangkat naskah Hamlet klasik karya penyair William Shakespeare dan Hamlet Machine karya Eugene o‘neil. Hal ini terlepas dari kategori apa teater yang dibuatnya, ‘seorang kreator seni tidak akan pernah mengkotak-kotakkan karyanya sebagai satu aliran, akan tetapi biarlah penontonnya yang ingin membawanya ke arah apa’, ditambahkan oleh Yusril, sang dramaturg pertunjukan ini.
‘Rosa berani dengan karyanya, bahkan ia sama sekali tidak setia dengan beberapa naskah yang juga mempunyai tokoh Ophelia’ celoteh seorang penonton pada malam pertunjukan.karya ini memang telah dipertunjukkan 3 kali, sebelumnya pada resital ujian akhir penyutradaraa Cut Rosa sendiri (6, 7 dan 9 Desember 2007), sedangkan malam ini (20 Januari 2008) pada event nasional Pekan Apresiasi Teater (PAT) III di STSI Padangpanjang. Perjalanan proses karya ini mengalami banyak perubahan di setiap kali pertunjukannya. Seakan-akan pencarian Rosa terhadap karyanya belum selesai, bahkan ia tak segan-segan untuk memangkas beberapa potong adegan yang dirasa kurang cocok dengan yang diinginkannya, begitu juga sebaliknya ia menerima tantangan harus kerja keras bersama aktor untuk memberikan sesuatu yang baru dalam karyanya.
Salah satu kekuatan pada pertunjukan ini adalah aktor yang cerdas. Rosa memang tak salah pilih dalam merekrut para aktornya. Hampir keseluruhan aktor tidak mempunyai masalah dengan gesture dan ekspresi. Walau pada teknisnya, hampir keseluruhan aktor bermasalah dengan power pada vokal mereka san kemiripan warna vokal. Hal ini secara tidak langsung dapat ditutupi dengan koreografi yang inovatif. Secara visual pertunjukan ini meminjam spirit tari saman (Aceh) yang enerjik.
Hal senada juga dituturkan oleh Sarah, seorang koreografer muda STSI padangpanjang, ia sangat tertarik dengan koreografi yang dihasilkan oleh Cut Rosa dan aktornya. ‘ saya jadi lebih senang menikmati teater karena saya mendapat pengalaman baru untuk vocabuler gerak’, imbuh Sarah.
Apapun pendapat para audience yang berkunjung ke Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam pada saat itu, merupakan catatan penting bagi perjalanan proses berteater kita, khususnya Cut Rosa. Ternyata kendala pada konsep atau ide garapan memang perlu dimatangkan. Hubungan sutradara dengan teks sastra (naskah) menjadi hubungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap pertunjukan ketika divisualkan di atas pangggung.
Sutradara seharusnya adalah pihak yang paling kritis dalam memahami sebuah teks sastra, misalnya menyangkut aspek budaya, sutradara diharapkan mampu memauki ruang ikon serta simbol agar tersampaikan kepada penonton, walaupun seperti pembelaan Rosa bahwa nantinya penonton memiliki interpretasi sendiri.
Tafsir terhadap teks sastra tidaklah pekerjaan yang mudah bagi sorang sutradara. Agar tidak terkesan hanya mengganti struktur dan peristiwa naskah saja atau kekuatan tokoh sentral hanya akan berbeda pada visual yang coba ditawarkan saja bahkan kalimat dan dialog yang diucapkankan nyaris mengalami kemiripan, maka sutradara harus cermat dengan hal ini sebelumnya.
Secara umum pertunjukan yang merupakan persembahan tuan rumah kepada 11 kontingen kesenian dari seluruh wilayah indonesia ini memang perlu diacungi jempol. Pada sesi diskusi terlihat antusiasme penonton sangat positif. 11 kontingen adalah Teater Raja Linge (Aceh), UKM Teater UNIMED (Medan), UKM Teater UPI (Padang), UKM Teater UNSRI (Palembang), UKM Teater UIB (Batam), ISI Jogyakarta, Teater Oranye (Jambi), Teater Art In Revolt (Jambi), Perkumpulan Seni Warisan Budaya (Bangka Belitung), Teater Hitam Putih dan HMJ Teater STSI Padangpanjang.

Minggu, 07 Juni 2009

Doc. Alam Sisipus





ALAM SISIPUS ala KOMUNITAS LORONG


Oleh: Phie2t

Alam menjadi bagian kehidupan bagi makhluk yang ada disekitarnya, ia akan menjadi tetap asri dan indah apabila ia terus dijaga dan dirawat sebagai mana mestinya, dan ia akan punah apabila ia dirusak. Hal demikian menjadi kepedulian kita bersama. Melihat fenomena alam hari ini, sudah sangat memprihatinkan. Begitu banyak bencana yang menghadang, diantaranya pemanasan global (Global warming), menipisnya lapisan ozon, lumpur lapindo dan illegal loging. Kesemua permasalahan ini telah menjadi pembicaraan di tingkat Internasional. Ditambah lagi dengan bencana alam seperti hujan yang menyebabkan banjir di kota-kota, tanah longsor, gempa, tsunami yang susah diprediksi dan lain sebaginya, yang sampai hari ini masih terus dapat kita rasakan.
Melihat dan memperhatikan gejala yang ada, sebuah kelompok teater yang bernama Lorong mencoba memvisualkan kegelisahan mereka terhadap bencana ini dengan melakukan penggarapan karya Instalasi dan Performance Art yang berjudul ‘Alam Sisipus’ . Instalasi dan performing art yang dilakukan sebagai Exibition Art pada pembukaan Pekan Apresiasi Teater (PAT) III yang lalu (Minggu, 20 Januari 2008) menghadirkan simbol-simbol dengan pengeksplorasi gerak tubuh yang menjadi kekuatan pada pertunjukan. Ada yang menyerupai api, air, tanah, lumpur, tumbuhan hijau dan angin
‘Alam Sisipus’ merupakan ide Husin, salah seorang personil Lorong. Garapan ini mencoba menawarkan konsep out door, sebagai ide dasar instalasi tidak lagi dimainkan dalam “ruang” seni semata, melainkan pada wilayah yang meluas hingga tidak lagi menjadikan ruang sebagai batas. Bahkan ruang adalah “subjek” yang ikut berperan di dalamnya. Ia bisa di galeri, museum, ruang publik (pasar, mal, jalan), sampai pada ruang kebutuhan masyarakat (demonstrasi buruh, politik, festival-festival, kehidupan sehari-hari, dan lain-lain). Bahkan garapan yang dimainkan oleh Hasan, Husin, Adri, Deri, Roni, Fendi dan Bojes ini menjadi sebuah surprise bagi penonton pada waktu itu.
Lorong lahir dari aktivitas beberapa anak muda yang mengekspresikan gejolak jiwa mereka dengan aktivitas kesenian jalanan, seperti happening art dan accoustic jalanan pada Oktober 2004. kegiatan ini dilakukan sebagai bukti kepedulian mereka sebagai generasi muda terhadap masalah kesenjangan sosial yang tak pernah usai. Sekitar tahun 2007 lalu, Lorong mulai menggarap Performance Art dan memilihnya sebagai media penyadaran dan propaganda terhadap masyarakat banyak, dengan alasan lebih bersifat terbuka dalam memperluas wilayah komunikasi. Lorong memang tergolong baru dalam dunia kesenian. Dengan motto ‘jelajah ruang dan waktu’ seakan komunitas tak pernah lelah berkreativitas. Dari tahun 2004 hingga sekarang, karya lorong memang belum ada apanya. Namun setidaknya mereka turut memikirkan dan bertindak untuk menyikapi permasalahan sosial hari ini.

Doc. Proses Latihan WARNING





Catatan Proses Latihan WARNING


Pasca pelatihan beberapa basic teater, diantaranya adalah Managemen, Penyutradaraan, dan Artistik oleh Teater Satu Lampung bekerjasama dengan Hivos sebagai fasilitator dalam event Jaringan Tetaer Sumatera (JTS) pada Januari 2009. Kami (Teater Lorong), membawa banyak pengalaman ataupun ilmu yang nantinya dapat diaplikasikan lewat sebuah pementasan pada bulan Mei ini. Setibanya di daerah (Padangpanjang), kami dihadapkan oleh kegiatan perkuliahan kawan-kawan yang sangat padat sehingga membuat kami harus mengalah dengan keadaan. Jadi, selama satu bulan tidak membicarakan ataupun sosiallisasi tentang kegiatan JTS. Sebulan setelah itu tepatnya bulan Maret, melihat kegiatan kawan-kawan sudah mulai longgar, Sosialisasi dan Konsolidasipun dilakukan. Setelah itu, berlanjut pada pembicaraan ataupun diskusi tentang apa yang akan dibawakan pada pementasan bulan Mei. Kemudian, tak tertinggal pula. Orang-orang diluar Komunitaspun, terlibat dalam diskusi dan sharing untuk menentukan konsep dan bentuk pementasan.
Berawal dari apa yang selama ini kami pikirkan, kemudian kami wujudkan lewat media performance art yang bersentuhan dengan ruang-ruang public, namun hanya berkonsentrasi dan hanya berkutat pada persoalan alam dan lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan. Dari konsentarsi itu, kamipun harus menjemput kembali emosi-emosi jalanan (ruang public) untuk membangkitkan kembali rasa progresitas dan semangat kebersamaan. Setelah semangat itu didapatkan, team produksi dan artistikpun ditentukan.
Kamis, 12 Maret 2009 latihan awal dimulai. Pada latihan pertama, menggunakan metode eksplorasi gerak. Dua orang pemain (Hasan dan Pendi) bergerak dibawah pohon besar, pilihan pohon, agar merasakan kesuburan alam yang kita miliki. Tiba-tiba yang satunya menaiki pohon, kemudian bergerak dan mengeksplor tubuh. Dari latihan pertama, dua orang pemain belum menemukan penjelasan atas tubuh dan belum dapat merasakan pohon di luar tubuh atau pohon di dalam tubuh. Hanya satu kali latihan, proses terhenti yang diakibat oleh pemain mengundurkan diri dengan alasan harus konsentrasi dengan Tugas Akhir. Dari situ, kita dengan cepat mencari solusi. Agar proses tidak menjadi terganggu, dengan mengganti pemain. Pada eksplorasi yang kedua, eksplorasi gerak dilakukan oleh Hasan dan Husin, disela mengeksplor gerak satu orang pemain (Husin) memutuskan emosi dan keluar tiba-tiba. Setelah usai latihan, kita kembali berdiskusi dan mengevaluasi apa yang dilihat dan dirasakan dari hasil latihan. Dari proses latihan eksplorasi tidak adanya kejelasan tokoh, maksudnya apa mewakili siapa, siapa mewakili apa tidak ada kejelasan.
Dari ketidakjelasan itu, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba membuat draf naskah agar eksplorasi gerak yang dilakukan tidak kehilangan struktur. Dalam waktu lebih dari satu bulan, naskahpun dapat diselesaikan.

Kamis, 04 Juni 2009

Cihui! 5 Hari Pesta Teater

Oleh: Zamakhsyari Abrar - wartaone

BANDAR LAMPUNG - Sebuah pesta teater akan digelar selama lima hari di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Jl. Cut Mutia No. 15, Bandar Lampung. Terhitung mulai 25 Mei hingga 29 Mei, sepuluh kelompok teater akan tampil membawakan karya-karya mereka.

Pentas teater bertajuk Kala Sumatera Gelar Karya Teater, Jaringan Teater se-Sumatra ini diselenggarakan oleh Teater Satu Lampung dan Hivos. Pementasan ini merupakan salah satu sub program yang digagas Teater Satu Lampung untuk pemberdayaan teater di Sumatera.

Grup teater yang berpartisipasi adalah Teater Oranye, Jambi, Teater Mara, Riau, Lab. Teater, Riau, Teater Topeng, Palembang, Komunitas Lorong, Sumatera Barat, Teater Petak Rumbia, Bengkulu, Teater Generasi, Medan, Teater Rumahhitam, Kepri, Komunitas Berkat Yakin, Lampung, dan Teater Alam dari Aceh. (mak)

Berikut jadwal lengkap pementasan:
Senin, 25 Mei 2009
13.30 – 14.30 WIB Teater Oranye
16.00 - 16.30 WIB Teater Mara

Selasa, 26 Mei 2009
13.30 – 14.30 WIB Lab. Teater
16.00 - 16.30 WIB Teater Topeng

Rabu, 27 Mei 2009
13.30 – 14.30 WIB Komunitas Lorong
16.00 - 16.30 WIB Teater Petak Rumbia

Kamis, 28 Mei 2009
13.30 – 14.30 WIB Teater Generasi
16.00 - 16.30 WIB Teater Rumahhitam

Jumat, 29 Mei 2009
13.30 – 14.30 WIB Komunitas Berkat Yakin
16.00 - 16.30 WIB Teater Alam

Pergelaran Teater Se-Sumatera Dimulai Hari ini

BANDAR LAMPUNG--Teater Oranye Jambi dan Teater Mara Riau, hari ini (25-9), akan tampil mengawali Pergelaran Teater se-Sumatera yang diprakarsai Teater Satu bekerja sama dengan HiVOS, Belanda, di Taman Budaya Lampung mulai hari ini hingga Jumat (29-9).

Teater Oranye mengusung lakon Gentile karya dan disutradarai Muhamad Khusairi tampil pukul 15.30. Sedangkan Teater Mara dari Akademi Kebudayaan Melayu Riau membawakan lakon Sang Kitab karya Hangkaprawi dan disutradarai Saho pentas pukul 16.00.

Selain kedua komunitas teater tersebut, ada delapan kelompok teater lain yang siap meramaikan event bertajuk Jaringan Teater Sumatera tersebut yakni, Teater Alam (Aceh), Teater Rumahitam (Kepulauan Riau), Komunitas Lorong (Sumatera Barat), Teater Generasi (Medan), Teater Topeng (Palembang), Teater Petak Rumbia (Bengkulu), Lab Teater (Riau), dan Komunitas Berkat Yakin (Lampung). "Seluruh grup yang tampil dalam event ini merupakan kelompok teater yang sudah cukup dikenal dan berpengalaman di daerah masing-masing. Selain itu, para sutradara, penata artistik, pimpinan, dan manajer setiap kelompok sebelumnya sudah mengikuti program pelatihan dan diskusi yang diselenggarakan pada Januari lalu," kata Kepala Bidang Operasional Teater Satu, Imas Sobariah.

Selain pementasan, panitia juga menggelar diskusi setiap hari untuk mengevaluasi penampilan setiap kelompok. Adapun narasumber yang diundang panitia untuk memberikan ulasan pertunjukan tersebut adalah Ratna Riantiarno dari Teater Koma Jakarta, Sitok Srengenge dari Dewan Kurator Komunitas Salihara Jakarta, Yudi Ahmad Tadjudin (Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta), dan Iswadi Pratama, sutradara di Teater Satu Lampung.

"Dengan adanya diskusi dan evaluasi dari para narasumber tersebut, kami berharap ada feedback bagi kawan-kawan yang pentas sehingga bisa dijadikan bahan perbaikan bagi setiap kelompok ke depan," ujar Imas lagi. Sedangkan, menurut Direktur Artistik Teater Satu Lampung, Ahmad Jusmar, dari seluruh kelompok yang tampil diperkirakan menyajikan bentuk pertunjukan yang sangat beragam. "Ada yang menyajikan bentuk pertunjukan realisme konvensional, eksploratif/kontemporer, mengelaborasi teater modern dan tradisi, juga monolog. Demikian juga tema yang diangkat sangat beragam. Mulai konflik internal dalam sebuah keluarga hingga persoalan ideologisme dan spiritualisme. Jadi, penonton bisa mendapatkan sajian tontonan yang sangat menarik," tambah Jusmar. Melihat animo komunitas-komunitas teater di Sumatera terhadap program ini, panitia optimistis kehidupan teater di Sumatera akan mampu menyejajarkan diri dengan komunitas-komunitas teater lain yang ada di Pulau Jawa. "Sebenaranya banyak sekali kelompok-kelompok teater yang bagus di Sumatera. Namun, keberadaan mereka selama ini kurang tersosialisasi secara baik dalam konstelasi teater di Indonesia," jelas Ahmad Jusmar. n AST/*/L-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Mei 2009

Pergelaran Teater Se-Sumatera: Kawula Muda Apresiatif Saksikan Pementasan

Oleh: Udo Z Karzi

BANDAR LAMPUNG--Apresiatif. Kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan animo kawula muda Bandar Lampung terhadap kesenian teater. Terlihat dari sebagian besar tempat duduk yang tersedia diisi anak-anak SMA pada hari pertama (Senin, 25 Mei) dan kedua (Selasa, 26 Mei) Pergelaran Teater se-Sumatera di Taman Budaya Lampung.

OPERA JIWA. Teater Topeng Palembang mementaskan lakon Opera Jiwa pada hari kedua Pergelaran Teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Selasa (26-5). (LAMPUNG POST/M. REZA)

"Saya memang suka nonton teater, apalagi pentas kali ini dimainkan oleh komunitas-komunitas dari luar Lampung yang jarang bisa ditonton," kata Riska, siswa kelas XI SMA yang menonton pergelaran teater tersebut.

Pembukaan Pergelaran Teater se-Sumatera ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Iswadi Pratama dari Teater Satu dan komunitas-komunitas teater yang mengikuti pergelaran teater itu. Kemudian dilanjutkan dengan pementasan teater dari Teater Oranye Jambi dengan lakon Gentile karya Muh. Husairi dan disutradarai oleh Ari C. Gue pada hari pertama, Senin (25-5), pukul 13.30.

Hari kedua, Selasa (26-5), pukul 13.30, Lab. Teater Pekan Baru, Riau, mementaskan lakon Rumah Tak Berdinding karya Marhalim Zaini dan disutradrai Jefri Al Malay. Kemudian pada pukul 16.00, Teater Topeng Palembang dengan lakon Opera Jiwa karya Ical dan sutradara Erwin Azhari.

Gentile bercerita tentang sepasang suami-istri dengan setting perumahan kumuh yang terlihat dari bilik kardus pada panggung yang berfungsi sebagai rumah. Tema yang sederhana, tema cinta, interaksi dengan penonton, dan lagu latar yang merdu menjadi keunggulan dari Teater Oranye Jambi ini. Cerita diawali oleh monolog dari tokoh Gen yang dibawakannya dengan ringan, seakan-akan sedang berbicara langsung dengan penonton. Bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi istrinya (Tile).

Kemudian, cerita berjalan dengan masing-masing tokoh saling bercerita, sampai pada inti cerita (klimaks) yaitu tentang perasaan dari kedua tokoh yang merasa sangat kehilangan anak pertamanya karena Tile keguguran. Perasaan sedih digambarkan dengan sangat baik oleh kedua tokoh yang berlari di tempat seakan-akan ingin mengejar dan mendekap kembali anak mereka yang telah keguguran tersebut.

Sayang, ada beberapa kekurangan dalam lakon Gentile ini, yaitu minimnya eksplorasi gerak dari tokoh-tokoh dalam lakon tersebut. Sehingga, membuat jalan cerita menjadi sedikit monoton karena terlalu didominasi oleh bahasa verbal.

Pertunjukan kedua yang dipentaskan pada pukul 16.00 oleh Teater Mara Pekan Baru Riau berjudul Sang Kitab karya Hang Kafrawi dan disutradarai oleh Saharudin.

Sang Kitab bercerita tentang asal mula kejayaan Kerajaan Melayu. Pentas Sang Kitab ini unik, jalan cerita kadang-kadang berubah di tengah jalan seakan bukan pentas teater yang sesungguhnya, padahal sebenarnya memang bagian dari lakon tersebut.

Seorang pencerita yang pada mula pertunjukan bermonolog atau bercerita tentang cerita yang akan dimainkan. Di tengah pentas tiba-tiba seakan menjadi seorang sutradara. Hal ini yang menjadi keunggulan dari lakon Sang Kitab ini, selain tata pencahayaan yang luar biasa, kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi, bahkan ending-nya membuat penasaran.

Selain kedua komunitas tersebut, ada delapan komunitas lain yang ikut serta dalam Pergelaran Teater se-Sumatera ini. Hari ini (27-5), Komunitas Lorong Sumatera Barat akan mementaskan lakon Warning karya Husin dan sutradara Hasan pada pukul 13.30. Pada pukul 16.00, Teater Petak Rumbia Bengkulu dengan lakon Suatu Senja di Taman Bungaku karya dan disutradarai oleh E. Soewandi.

Kamis (28-5), pukul 13.30, Teater Generasi Medan dengan lakon Cublis karya dan disutradarai oleh Hasan Al Banna. Pukul 16.00, Teater Rumah Hitam Batam dengan lakon Di Pertigaan Rumah Hitam karya dan disutradarai oleh Tarmizi Matihamur.

Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung dengan lakon Rumah karya Tim Kober dengan sutradara Ari Pahala Hutabarat akan tampil pada Jumat (29-5), pukul 13.30. Dan pada pukul 16.00, Teater Alam Nangroe Aceh dengan lakon Wolman Kowitzs karya terjemahan dari W.S. Rendra dan sutradara Din Saja. n MG13/L-2

Jadwal Pementasan Hari ini (Rabu, 27-5):

Pukul 13.30--14.30
Komunitas Lorong Sumatera Barat mementaskan Warning karya Husin, sutradara Hasan.

Pukul 16.00--17.00

Teater Petak Rumbia Bengkulu mementaskan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E. Soewandi, sutradara Emong Soewandi.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Mei 2009

Teater Lorong Usung Tema Utama Lingkungan

Oleh: Udo Z Karzi


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Isu lingkungan menjadi tema utama yang diusung Teater Lorong Sumatera Barat pada hari ketiga pergelaran teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Rabu (27-5).

WARNING. Teater Lorong, Sumatera Barat mementaskan lakon Warming pada Pagelaran Teater se-Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Rabu (27-5). Lakon karya Husin dan disutradarai Hasan ini mengangkat isu lingkungan. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Lakon yang berjudul Warning karya Husin dan disutradarai Hasan ini bercerita keadaan alam yang mulai hancur dan menderita akibat eksploitasi yang berlebihan.

Lakon dibuka dengan pidato seorang tokoh yang berbicara tentang pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa saat kemudian sang tokoh berbalik 180 derajat menjadi seseorang yang dengan keji menghancurkan alam.

Suatu sindiran kepada "orang-orang besar" yang selama ini berkata tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi tetap memberikan izin usaha kepada perusahaan yang menghasilkan limbah yang tidak bisa didaur ulang.

Simbol lingkungan yang terluka dan tercemar diperankan sempurna aktor-aktor yang berperan sebagai rerimbunan hutan. Emosi kesakitan, ketakutan, dan penderitaan sangat terasa dari tarian yang dinamakan Tari Buto, yaitu tari yang mengeksplorasi tubuh sedemikian rupa sehingga menampilkan suasana gelap dan mistis yang eksotis.

Warning menyentil sanubari kita untuk menjaga agar alam tetap harmonis. Pemanfaatan sumber daya alam tidak diharamkan, tetapi tidak secara berlebihan. Hormati alam sebagaimana mestinya karena manusia dan alam harus saling mengisi.

Kemudian pada pertunjukan kedua--pukul 16.00--Teater Petak Rumbia Bengkulu melakonkan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E.Soewandi yang disutradrai sendiri.

Lakon ini bercerita tentang pemberontakan perempuan yang tidak pernah usai terhadap kondisi sosial budaya masyarakat tradisional yang selalu berada sebagai pihak yang "inferior" pada konsep takdir. Perempuan adalah tubuh yang tidak boleh sekalipun menang terhadap supremasi laki-laki.

Laki-laki dalam kehidupan tradisional terkonsep sebagai "superman", yang mempunyai darah yang lebih pekat dan berharga dibanding dengan perempuan. Kesuperioritasan laki-laki dalam lakon ini disimbolkan dengan kelebatan jubah hitam yang lebar menjuntai ke tanah dan menutupi seluruh tubuh tokoh perempuan pada saat mereka saling melempar dialog tentang waktu.

Waktu pada lakon ini adalah analogi dari takdir atau mungkin lebih tepatnya peran sosial yang dibentuk kebudayaan patrilineal, sehingga peran perempuan menjadi lebih rendah di bawah laki-laki.

Suasana dan aura yang gelap, menambah kesan keinferoran sang tokoh perempuan. Musik latar yang kadang berganti dari nada tradisional Melayu dan musik modern seakan ingin menyampaikan kondisi diskriminasi gender sudah berlangsung sejak zaman kuno dan masih berjalan sampai zaman modern sekarang tanpa bisa diubah secara keseluruhan karena sudah mengakar dalam masyarakat.

Ada gugatan yang hendak disampaikan dalam lakon ini, yaitu gugatan kepada perempuan untuk berani mengambil keputusan menurut hati sanubarinya terhadap kekuatan yang menekan mereka. Karena dalam konsep masyarakat tradisional, laki-laki akan kalah terhadap perempuan hanya jika dihukum waktu, yakni kematian. n MG-13/K-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Mei 2009
0 Responses to "Teater Lorong Usung Tema Utama Lingkungan"