Label

Rabu, 10 Juni 2009

Bila Dendam Ophelia Mulai Berdarah


Oleh: Phie2t

Suasana panggung yang lebih dinominasi oleh warna-warna pucat seperti biru dan putih, menghantar penonton pada sebuah pertunjukan teater eksplorasi yang berjudul ‘Ophelia dalam Lentera’ karya sutradara Cut Rosa. Pertunjukan yang berdurasi lebih kurang 45 menit ini terasa seperti kolaborasi seni. Di beberapa bagian pertunjukan, sutradara menyelipkan beberapa koreografi. Entah apa yang ingin disampaikan oleh sang sutaradara lewat karyanya kali ini.
Cut Rosa dikenal sebagai sutradara perempuan yang mempunyai ide dan gagasan yang cukup cemerlang dalam menggarap teater. Keseriusan yang telah menghantarkannya pada karya ‘Ophelia dalam Lentera’ yang dapat dijadikan sebagai bentuk apresiasi baru bagi penikmat dan kritikus teater.
Mengamati perkembangan teater moderen Indonesia, ada bebarapa permasalahan yang cukup menarik untuk diamati dan dibicarakan. Permasalahan yang dimaksud, diantaranya adalah munculnya kecendrungan untuk mencari bentuk baru dalam proses berteater. Demikian juga dengan karya ini (Ophelia dalam Lentera), sutradaranya ingin mencari sesuatu yang berbeda untuk karya teaternya yang berangkat naskah Hamlet klasik karya penyair William Shakespeare dan Hamlet Machine karya Eugene o‘neil. Hal ini terlepas dari kategori apa teater yang dibuatnya, ‘seorang kreator seni tidak akan pernah mengkotak-kotakkan karyanya sebagai satu aliran, akan tetapi biarlah penontonnya yang ingin membawanya ke arah apa’, ditambahkan oleh Yusril, sang dramaturg pertunjukan ini.
‘Rosa berani dengan karyanya, bahkan ia sama sekali tidak setia dengan beberapa naskah yang juga mempunyai tokoh Ophelia’ celoteh seorang penonton pada malam pertunjukan.karya ini memang telah dipertunjukkan 3 kali, sebelumnya pada resital ujian akhir penyutradaraa Cut Rosa sendiri (6, 7 dan 9 Desember 2007), sedangkan malam ini (20 Januari 2008) pada event nasional Pekan Apresiasi Teater (PAT) III di STSI Padangpanjang. Perjalanan proses karya ini mengalami banyak perubahan di setiap kali pertunjukannya. Seakan-akan pencarian Rosa terhadap karyanya belum selesai, bahkan ia tak segan-segan untuk memangkas beberapa potong adegan yang dirasa kurang cocok dengan yang diinginkannya, begitu juga sebaliknya ia menerima tantangan harus kerja keras bersama aktor untuk memberikan sesuatu yang baru dalam karyanya.
Salah satu kekuatan pada pertunjukan ini adalah aktor yang cerdas. Rosa memang tak salah pilih dalam merekrut para aktornya. Hampir keseluruhan aktor tidak mempunyai masalah dengan gesture dan ekspresi. Walau pada teknisnya, hampir keseluruhan aktor bermasalah dengan power pada vokal mereka san kemiripan warna vokal. Hal ini secara tidak langsung dapat ditutupi dengan koreografi yang inovatif. Secara visual pertunjukan ini meminjam spirit tari saman (Aceh) yang enerjik.
Hal senada juga dituturkan oleh Sarah, seorang koreografer muda STSI padangpanjang, ia sangat tertarik dengan koreografi yang dihasilkan oleh Cut Rosa dan aktornya. ‘ saya jadi lebih senang menikmati teater karena saya mendapat pengalaman baru untuk vocabuler gerak’, imbuh Sarah.
Apapun pendapat para audience yang berkunjung ke Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam pada saat itu, merupakan catatan penting bagi perjalanan proses berteater kita, khususnya Cut Rosa. Ternyata kendala pada konsep atau ide garapan memang perlu dimatangkan. Hubungan sutradara dengan teks sastra (naskah) menjadi hubungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap pertunjukan ketika divisualkan di atas pangggung.
Sutradara seharusnya adalah pihak yang paling kritis dalam memahami sebuah teks sastra, misalnya menyangkut aspek budaya, sutradara diharapkan mampu memauki ruang ikon serta simbol agar tersampaikan kepada penonton, walaupun seperti pembelaan Rosa bahwa nantinya penonton memiliki interpretasi sendiri.
Tafsir terhadap teks sastra tidaklah pekerjaan yang mudah bagi sorang sutradara. Agar tidak terkesan hanya mengganti struktur dan peristiwa naskah saja atau kekuatan tokoh sentral hanya akan berbeda pada visual yang coba ditawarkan saja bahkan kalimat dan dialog yang diucapkankan nyaris mengalami kemiripan, maka sutradara harus cermat dengan hal ini sebelumnya.
Secara umum pertunjukan yang merupakan persembahan tuan rumah kepada 11 kontingen kesenian dari seluruh wilayah indonesia ini memang perlu diacungi jempol. Pada sesi diskusi terlihat antusiasme penonton sangat positif. 11 kontingen adalah Teater Raja Linge (Aceh), UKM Teater UNIMED (Medan), UKM Teater UPI (Padang), UKM Teater UNSRI (Palembang), UKM Teater UIB (Batam), ISI Jogyakarta, Teater Oranye (Jambi), Teater Art In Revolt (Jambi), Perkumpulan Seni Warisan Budaya (Bangka Belitung), Teater Hitam Putih dan HMJ Teater STSI Padangpanjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar