Label

Rabu, 30 Desember 2015

Kecacatan 'Ruang Dengar' RRCI Setelah Usai


Oleh: Uchien
Sampai saat inipun saya masih terus bersyukur, akhirnya saya bisa juga menyaksikan performance alunan music yang dimainkan oleh kawan-kawan Riau Rhythm Cambers Indonesia (RRCI). Setelah sekian kali RRCI membentangkan karyanya pada ruang-ruang apresiasi yang tersedia di kota Pekanbaru. Rasa syukur yang saya paparkan ini, karena saya tidak lagi menghantamkan kepala saya ditembok rumah, hingga pecah dan segala isinya berserakan. Namun, rasa penyesalan itu tidak berlangsung lama. Tentunya saya harus secepatnya mengobati dan mengumpulkan kembali isi kepala yang telah terlanjur berserakan. Setelah saya merangkai isi kepala dengan lengkap dan benar, kemudian sudah bisa berpikir normal, saya teringat dengan seorang teman yang pernah memberitahukan tentang video di bawah ini.


Asyek.. sungguh kenikmatan yang meyembuhkan segala lelah yang ada di tubuh ini. Walaupun video yang saya tonton ini adalah berupa dokumentasi launching album Suvarnadvipa yang  mereka pentaskan di Gedung Pertunjukan Idrus Tintin pada tanggal 19 September 2015. Dari launching album Suvarnadvipa dengan melalui proses research yang teramat mendalam ini, RRCI menikmati hasil panen yang berbuah manis. Dengan dibuktikannya, satu minggu setelah launching album Suvarnavipa naik keperingkat pertama The Journey of Musical Harmony menduduki TOP CHART di iTunes Indonesia. Sebuah prestasi yang dapat disandang oleh putra-putra Riau. Namun sayang sekali saya belum juga bisa mendengar dan menyaksikannya.    
Cihuy.. Alhamdulillah, akhirnya kami (saya, istri dan dua orang kawan) diberikan kesehatan dan waktu untuk membawa sepasang telinga untuk mendengar sekaligus menyaksikan RRCI di Sapu Lidi Centre pada (27/12/15). Pada kesempatan malam itu menjadi program ‘Ruang Dengar’ ketiga RRCI untuk menjemput ratusan pasang telinga pada ruang public yang menjadi pentas alternatif mempersentasikan karyanya dengar lebih santai, friendly dan bersahabat. Sebelumnya program Ruang Dengar, pertama dilaksanakan pada awal bulan maret 2015 di Taman Budaya Riau dengan penonton yang terbatas. Setelah itu yang kedua pada pertengahan bulan Juni 2015 lalu kembali di pentaskan dalam konsep latihan di basecamp RRCI, bertempat di Museum Sang Nila Utama Provinsi Riau dengan mempersiapkan proses latihan karya album ke – 7 bertema SUARNADVIPA saat itu dihadiri oleh kawan-kawan wartawan. 
Siap.. Kami sangat siap dan safety sekali membawa sepasang telinga masing-masing. Sebelum berangkat dari rumah yang berada diperbatasan Pekanbaru-Kampar (Bangkinang), kami terlebih dahulu  menggosok dan mencongkel sepasang telinga dari segala kotoran yang telah terkontaminasi. Setelah itu kami tidak lupa untuk menyimpannya ke dalam box dan menguncinya dengan gembok, agar telinga kami tidak mendengar suara-suara lain yang menganggu pendengaran kami selama perjalanan. Karena telinga kami, hanya dipersiapkan untuk mendengar irama, rytme, melody, dan tempo yang keluar dari instrument (gambus, violist, cello, gendang, calempong, gong, flut, akordion, drum, dan lain sebagainya) yang dimainkan oleh kawan-kawan RRCI. 
Keren.. Sesampainya di Sapu Lidi Centre, kamipun bersalaman dan bertegur sapa dengan pasang telinga yang lebih dahulu hadir, sembari celingak-celinguk mencari bangku dan meja  kosong yang memang sudah dipenuhi oleh ratusan pasang telinga yang telah disiapkan masuk pada Ruang Dengar. Sepertinya yang lainnya, sebelum membuka gembok box telinga yang kami simpan. Kamipun memesan minuman dan makanan yang ada di daftar menu. Setelah itu, barulah kami membuka gembok box telinga dengan penuh kehati-hatian, kemudian memasangnya dan sedikit memperbaiki stelan telinga, agar audionya baik dan tajam. Pertama yang kami dengar, Rino Dezapati (komposer) menjelaskan perjalan kesenimannya secara personal dan proses kreatif RRCI yang memang tidak semudah Rino bercerita malam itu. RRCI dibangun dengan segala upaya yang dilewati penuh perjuangan melewati jalan terjal, licin, bebatuan, kemudian memasuki Rimba Raya yang memang belum pernah dimasuki oleh manusia manapun. Mereka membuka jalan menuju Rimba yang penuh dengan misteri alamnya. Namun dengan segala upaya, mereka dapat menaklukkannya.
Bravo.. Setelah menaklukkan Rimba Raya, merekapun menghadapi tantangan baru untuk dapat menaklukkan segala misteri kejayaan peradaban masa lalu ‘Suvarnadvipa’, istilah yang digunakan oleh orang India untuk menyebut dataran Sumatera. Tidak tanggung-tanggung napak tilas yang teramat panjang ini tidak menyurutkan semangat mereka. Maka segala kejayaan ‘Suvarnadvipa’ dapat diketahuai lewat persentasi enam repertoar karya yang akan diperdengarkan. Seluruh pasang telinga yang hadir siap memasuki Ruang Dengar.
Memasuki Ruang Dengar.. Penjelasan panjang yang dengan mudah dideskripsikan oleh Rino, terhimpit oleh lengkingan suara yang dikeluarkan oleh Giring dari bangku penonton. Ini menandakan karya pertama siap untuk didengarkan. Karya pertama ini diberi judul “Svara jiva”, sebauh karya yang berangkat dari sastra lisan Kampar, Batimang (Bagandu), Badondong dan Maratok. Svara jiva, memperdengarkan ratapan seorang Ayah kepada Anak-anaknya, begitu besarnya peran seorang Ayah terhadap anak-anaknya. Namun kasih sayangnya tidak terlihat, sebagaimana Ibu memberikan kasih sayang. Karya pertama inilah yang mengajar ratusan pasang telinga untuk mengedepankan rasa kemanusiaan. Dengan memiliki rasa kemanuasian itulah maka Sumarnadvipa dihargai dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Kemudian napak tilas mengikuti perjalan “Langkapuri” untuk berpatroli mengelilingi Suvarnadvipa. Langkapuri diyakini seekor elang kapur raksasa yang menurut cerita menjaga Suvarnadvipa. Irama music yang diperdengarkanpun bermain dengan irama pelan yang mendayu-dayu. Terdengar dari koor vocal yang terasa berterbangan diangkasa dengan penuh kewaspadaan dan sesekali irama itu menukik, lalu kembali lagi berterbangan penuh semangat. Semangat yang teramat tinggi inilah yang menjadi spirit Masyarakat untuk menjaga negeri agar terus tetap Berjaya, agar tetapa bermartabat, agar tetap bermarwah, tanpa tercoreng sedikitpun.
Selanjutnya “Puti Indio Dunio” yang menjadi judul karya ketiga kembali bermain dengan irama lembut, selembut seorang putri yang sangat bijak yang mampu menjaga keharmonisan. Pada karya ketiga ini sangat terasa nuansa Kampar yang diawali dengan melodi calempong yang dinamik, lalu diisi dengan vocal, cello, flute dan dikuti dengan violist. Karya keempat berjudul “Pencalang”. Pada karya ini terasa pengkolaborasian spirit Melayu Riau pesisir dan Melayu Riau Daratan yang menjadi kekuatan Melayu itu sendiri. Kemudian pada karya kelima  “Lukah Gile”, memberikan pelajaran untuk bagaimana ketidaksadaran itu menjadi mengenali diri sendiri dan kemudian dapat memahami diri-diri lain yang ada di luar diri. Kemudian akhir reportoar, “Sound of Suvarnadvipa” menjadi karya pemuncak. Karya terakhir ini mengisahkan rangkuman kejadian masa kejayaan Sriwijaya di Pulau Sumatera.
Study.. Dari napak tilas yang teramat panjang yang dilalui penuh perjuangan oleh RRCI, ratusan pasang telingapun banyak belajar tentang kejayaan peradaban Sumatera yang memiliki hubungan pemerintahan sampai ke Cina, India, Thailand, dan lain sebagainya. Hubungan itu amat terasa dari irama music yang telah dipersentasikan. Memasuki program Ruang Dengar yang ditaja oleh RRCI bagaikan membaca buku dengan reaserch yang teramat mendalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Sungguh sebuah karya ilmiah yang mumpuni.
Cacat.. Ya, ada kecacatan yang dibiarkan dalam Ruang Dengar. Kami, dengan ratusan pasang telinga lainnya, sudah mematuhi apa yang disarankan oleh Willy Fwi. Telah kami gosok, congkel, bersihkan, dan kami gembok di dalam box agar selalu safety sampai tujuan Ruang Dengar. Namun sungguh sayang disayang, Ruang Dengar menjadi cacat setelah usai. Napak tilas yang teramat panjang tidak bertahan lama bersantai ke dalam benak dan hati kami. Napak tilas yang teramat panjang menghadapi bencana oleh alunan instrument saxophone yang ditiup oleh Kenny G.
Menyambung ungkapan Fedli Aziz disela diskusi, tentang anak perawan yang digerayangi. Saya pikir, anak laki-laki Melayu yang menggerayangi anak perawan itu tentulah anak perawan yang telah dinikahinya. Sehingga menggerayangi anak perawan, penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang teramat sangat. Begitu juga Ruang Dengar yang harus dikelola penuh dengan kasih sayang yang teramat sangat juga. Jangan biarkan kecacatan itu menggerayangi Ruang Dengar yang sudah setia dijaga. Biarkan Ruang Dengar RRCI menetap di dalam benak dan hati ratusan pasang telinga.    









Minggu, 16 November 2014

mengapa tulisanku hilang?

Sabtu, 15 November 2014

(Catatan Pementasan “Romieh dan Juliah” Sutradara Monda Gianes) “Romeo and Juliet” dalam Peralihan Menjadi “Romieh dan Juliah”

Oleh: Husin

Masih ingat bukan, sepasang tokoh romantis “Romeo dan Juliet” yang sangat melagenda. Mereka masih saja menjadi simbol keromantisan yang merasuki keseluruh penjuru dunia. Tokoh fiktif ini dilahirkan oleh sastrawan besar, William Shakespeare. Lewat karyanya ini, Shakespeare berhasil menyajikan romansa cinta dengan nuansa klasik dan tragedi. Romantis namun tragis.
Karya masterpiece William Shakespeare ini tidaklah hanya berhenti pada karya sastra saja, karyanya dihidupkan kembali ke dalam beberapa bentuk karya, seperti drama, musikal, film, dan opera. Kisah Romeo dan Juliet menjadi sangat sukses ketika diangkat menjadi film layar lebar. Pada tahun 1996, sutradara Baz Luhrmann mengabadikan Romeo dan Juliet ke layar lebar dengan sentuhan yang berbeda dan latar yang lebih modern. Film ini dibintangi oleh Leonardo Dicaprio sebagai Romeo dan Claire Danis sebagai Juliet.  
Hingga saat inipun, tidak mudah bagi setiap orang untuk melupakan pasangan yang sangat romantis ini. Bahkan yang baru mengenal namanyapun dibuat menjadi penasaran dan langsung mengidolakannya. Rasa penasaran itu terjawab pada rabu-jum’at (01-03 Oktober 2014) malam pada pukul 20.00 WIB di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Pekanbaru, Riau. Meskipun dengan kemasan yang berbeda namun menjadi hal yang baru.
Perbedaan ini disebabkan oleh Sutradara (Monda Gianes) mengemasnya dengan kekayaan imajinasi, kreatifitas, kecerdasanya melihat kekuatan budaya lokal (Melayu). Bagi beberapa orang yang telah mengetahui kisah romantis Romeo dan Juliet, akan membayangkan nuansa klasik berlatar Eropa dan tragedi. Namun lain halnya dengan apa yang telah disuguhkan oleh produksi Teater Matan, Sutradara Monda Gianes. Oleh sutradara nama tokoh Romeo dan Juliet diganti menjadi “Romieh dan Juliah”, kemudian cerita yang begitu tragis dirubah menjadi komedi yang begitu lucu dan menghibur, namun tetap bertahan dan tidak lari dari esensi cerita.
Berangkat dari karya besar Shakespeare yang telah banyak mengalami peralihan ke dalam estetika seni, pemindahan budaya, pergesaran ruang dan waktu. Romieh dan Juliah-pun telah ikut masuk ke dalam estetika, budaya, ruang dan waktu masyarakat penonton tempatan (Melayu). Sehingga karya Shakespeare tidaklah menjadi suatu estetika, budaya, ruang dan waktu yang sangat asing bagi masyarakat Melayu. Tontonan pada malam itupun menjadi akrab dan sangat dekat dengan masyarakat Melayu.
Keakraban itu sudah dapat dirasakan pada saat dimulainya pementasan, karena seluruh pemain yang mengenakan pakaian keseharian masyarakat Melayu baik di kota maupun di desa muncul dari arah deretan bangku penonton. Mereka membentuk barisan, kemudian sambil berjalan menuju panggung, para pemain bersorak-sorai, menari dan bernyanyi lagu yang sangat akrab di telinga masyarakat Melayu. kehadiran para pemain disambut oleh teriakan dan tepuk tangan dari para penonton, sehingga para penontonpun bersia-siap dan tersadarkan bahwa Romeo dan Juliet yang mereka tonton adalah Romeo dan Juliet yang bersal dari budaya Melayu yang akan memberikan tontonan yang lucu dan sangat menghibur. 
Pada adegan kedua, Ayah Romieh menacari anaknya yang membawa remote TV. Kehadiran Ayah Romieh kembali membuat para penonton tertawa, mendengar Ayah sangat kental menggunakan dialek Melayu sambil memainkan acting yang kocak. Tidak lama berselang pada adegan selanjutnya, dua kelompok pemuda saling berseteru, keluarga Yong Tapa versus keluarga Yong Khalid. Adegan perseteruan ini membuat penonton yang tidak mampu berhenti tertawa, karena dua kelompok ini saling meneriaki untuk mulai memberi aba-aba untuk berkelahi, namun pada saat berhadapan mereka hanya berjalan santai saja. Berulang-rulang dua kelompok keluarga ini melakukan hal demikian, sampai Ustads dan Tuan Tanah (Erik) lewat dan melerai perseteruan dua kelompok keluarga. Dari adegan keadegan berikutnya, perseteruan dua keluarga inilah sebagai penghalang hubungan cinta Romieh dan Juliah.
Yong Tapa dari pihak keluarga Romieh (Al Gembot) dan Yong Khalid dari pihak keluarga Juliah (Dwi), sudah berseteru sejak lama. Diantara dua keluarga tidak satupun yang mau mengalah dan berdamai. Juliah menjadi risau, pada saat Ayahnya (Ridwan) menjodohkannya dengan pemuda kaya bernama Roy Khan (Jefri Al-Malay). Romieh dan Juliah tidak bisa tinggal diam, bagaimana caranya mereka akan tetap bersama. Lalu mereka mendatangi Penghulu (Kafrawi) agar mereka akan segera dinikahkan dan menggagalkan acara perjodohan Juliah dengan Roy Khan. Awalnya Penghulu tidak menyetujui, karena perseteruan keluarga mereka sudah terlalu lama. Penghulu menganggap cinta meraka adalah cinta terlarang. Lalu akhirnya penghulu menyarankan hubungan mereka harus dirahasiakan.  Kemudian Penghulu memberikan ramuan tidur suri tanpa sepengetahuan Romieh. Ramuan tidur suri ini diminum pada saat acara Ijab Qabul, dengan harapan Roy Khan putus asa dan mau tidak mau, harus menerimanya.
Ironisnya diluar perencanaan Penghulu, telah terjadi perkelahian sampai terbunuhnya sepupu Romieh oleh sepupu Juliah. Romieh tidak bisa menerima hal demikin dan menaruh dendam kepada keluarga Yong Khalid. Baginya, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Lalu Romiehpun membunuh sepupu Juliah, lalu melarikan diri dan menyesali perbuatannya. Dari segala kejadian ini membuat Ayah Juliah menjadi murka dan ingin segera cepat-menikahkan Juliah dengan Roy Khan.
Pada saat acara pernikahan dan ingin membacakan Ijab Qabul, Juliah telah meminum ramuan tidur suri. Acara pernikahan menjadi kacau dan sangat berantakan karena Juliah tidak sadarkan diri, mereka mengira Juliah telah meninggal, seluruh keluarga menangis dan meratapi kematian Juliah sampai mereka kelelahan dan tertidur kecuali Roy Khan. Tidak lama berselang Romieh datang dan langsung melihat Juliah sudah tidak bernafas lagi, lalu Romieh menikam Roy Khan sampai mati, lalu Romiehpun bunuh diri dengan menikam dirinya sendiri. Setelah itu tiba-tiba Juliah terbangun dan langsung melihat Romieh terbaring kaku di sampingnya, lalu Juliahpun mangambil belati dan langsung menikam tubuhnya, Juliahpun mati di samping Romieh. Setelah Roy Khan, Romieh dan Juliah terbujur kaku, barulah seluruh keluarga terbangun dari tidur dan melihat anak mereka telah mati. Melihat kejadian ini, barulah kedua keluarga yang berseteru, keluarga Yong Tapa dan keluarga Yong Khalid menyesali perbuatannya. Diakhir pementasan kembali ditutup dengan tarian dan nyanyian.
Dari seluruh rangkain pementasan, penonton tidak hentinya untuk terus tertawa. Karena memang setiap adegan selalu dikemas dengan adegan-adegan lucu yang dimainkan maksimal oleh para actor. Dilihat dari segi cerita memang tidaklah lari dari esensi cerita dari apa yang dimaksudkan oleh Shakespeare, meskipun penonton tidak lagi merasakan drama tragedi karena telah dibungkus seluruhnya oleh komedi, lucu, dan sangat menghibur. Penontonpun dapat dimanjakan dengan budaya, ruang dan waktu yang sesuai dengan keinginannya.
Barangkali inilah kelihaian sutradara untuk menterjemah ulang lalu memindahkan Romeo dan Juliet milik Shakespeare ke Ranah Budaya Melayu. Meskipun telah banyak pemindahan dan pengalihan wahana dari karya sebelumnya. Sesungguhnya Shakespeare juga telah meminjam ide dari sajak karya Arthur Brooke dan prosa karya William Painter, keduanya berangkat dari roman tragic pada zaman kuno. Dalam hal ini sutradara telah kembali mengalih wahanakan teks lama yang jauh dari zamanya menjadi teks baru yang dapat diterima oleh masyarakat penontonnya. Mengalihkan berarti mengubah, dan mengubah berarti menghasilan sesuatu yang baru dan berbeda dari yang lama sebelumnya.
Sutradarapun telah ikut untuk mempertimbangkan keinginan masyarakan penonton kita yang bercirikan bahwa tontonan harus menghibur, dan menghibur berarti lucu. Ciri inilah yang tampaknya menjadi nyawa dari teater tradisional kita, dan karenanya harus disenyawakan dengan naskah apapun  yang di bawa ke atas panggung. hasilnya akan terlihat jelas, bahwa teater tradisional boleh surut, akan tetapi nyawanya telah menghidupi teater modern kita. Seperti awal munculnya para actor Romieh dan Juliah berbaris berjalan ke atas panggung dengan penuh kegemberiaan sorak-sorai, sambil bernyanyi dan menari bagaikan Mendu, Makyong, Dul Muluk, dan para anak Randai yang bersorak sorai ingin memulai pementasan. Itulah milik kita, biarkan saja, dan mari memberikan hal yang baru.***

Kamis, 18 Juli 2013

Kekacauan Tanpa Henti, Maka BerSEGERAlah Ambil Tindakan (Laporan Pementasan SEGERA Karya Rachman Sabur – Camille Boitel)


Oleh: Husin

Di loby Gedung Kesenian Ajungan Seni Idrus Tintin, Pekanbaru 18 Juni 2013, telihat calon penonton tidak sabar ingin cepat masuk menduduki bangku penonton, menyaksikan pementasan “SEGERA” karya Rachman Sabur – Camille Boitel yang disutradarai oleh Racman Sabur. Namun ketidak sabaran calon penonton dapat terobati oleh pemutaran video documenter proses kreatif Kelompok Teater Payung Hitam semenjak awal berdiri hingga sekarang. Tepat pukul 20.00 WIB calon penonton dipersilahkan untuk masuk menduduki bangku dan sah untuk menjadi penonton seutuhnya.
Dari bangku penonton yang berkapasitas 600 telah penuh terisi, terlihat samar-samar sett panggung dan seorang tokoh perempuan duduk di atas kursi plastik dengan wajah disiram oleh cahaya senter yang melekat di dagunya. Perempuan ini terjatuh bersamaan dengan kursi plastic yang didudukinya, setiap kali dia berusaha bangkit, ia terus terjatuh dengan gerakan yang diulang-ulang.  Tidak lama berselang tiba-tiba menyala lampu neon yang di gantung di tengah depan panggung. hal ini membuat penonton jadi gaduh, karena terlihat beresiko dan belum pernah dilakukan oleh pementasan sebelumnya. Sontak kegaduhan terhenti sejenak dan terdengar jeritan dari bangku penonton, karena tiba-tiba lampu terjatuh dari ketinggian 3m ke lantai, sehingga panggung kembali menjadi gelap. Tanpa disadari, tidak ada aba-aba dari pembawa acara, pementasan telah berlangsung.
SEGERA, mengajak penonton untuk waspada terhadap ancaman dan bahaya yang akan datang, kekacaun telah terlihat jelas di depan mata. Sudah tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Secara visual, dengan jatuhnya lampu neon dari ketinggian 3m ancaman dan kekacauan itu bermula, tanpa henti. Awalnya penonton mengira, itu sebuah kecelakaan panggung. namun kecelakaan terus berulang, barulah penonton sadar bahwa memang demikianlah kehendak pertunjukan yang menciptakan kekacauan.
Sekitar 20-an Jam dinding, dari berbagai macam ukuran yang tergantung di dinding terbuat dari terpal biru berjatuhan satu persatu, lalu terdengar suara terompet. Tak lama setelah itu, masuk dua orang laki-laki botak membawa mainan anak-anak. Mainan itu berputar dan berbunyi. Mereka mengarah ke gerobak yang bingkainya terbuat dari paralon, lalu mengantungkan mainan itu di atas gerobak. Gerobak yang semula terlihat kokoh, menjadi hancur dan berantakan. Keadaan menjadi kacau balau, semua menjadi berantakan. Dinding-dinding terpal berbahan plastic yang tersusun rapi menjadi tumbang.
Kekacauan terus berlangsung tanpa henti, dengan kehadiran seorang laki-laki botak panic, karena kakinya terikat tali jerigen. Ia berusaha keras untuk melepaskan ikatan di kakinya. Semakin ia panic dan berusaha untuk melepaskan ikatan, keadaan menjadi kacau dan berantakan. Setiap sett yang berbahan plastic menjadi tumbang dan berjatuhan. Kekacaun yang dialami lelaki botak ini menjadi gerakan yang akrobatik. Kerena setiap benda berbahan plastic yang tersentuh dan terinjak oleh tubuhnya menjadi berjatuhan dan tepental ke semua arah. Pada saat ia tersangkut pada tali yang tergantung, onggokan plastic berjatuhan menimpa dirinya. Ditambah lagi pada saat ingin melompat dan menginjak bahan palstik yang lain, di permukaan lainnya berpentalan tutup botol plastic warna-warni. Lelaki botak yang tidak berbaju ini terus berusaha untuk menyelamatkan tubuhnya. Dalam keadaan panic, akhirnya ia dapat meraih helm berwarna merah lalu menutupi kepalanya, dengan sangat riang ia berlari keluar.
Dari adegan kekacaun yang terlihat, menyisakan banyak sampah plastic yang menyesakkan panggung. Dapat terlihat, bahwasanya Rachman Sabur ingin mengusung bahaya plastic bagi lingkungan. Maka kemudian sangat jelas pada judul SEGERA, ancaman dan kekacauan akan datang. Bersegeralah melakukan tindakan sebelum ancaman dan bahaya akan menimpa kita.
Adegan demi adegan yang coba diciptakan, sengaja mengaambarkan kekacauan demi kekacauan. Adegan-adegan kekacauan berjalan begitu cepat dan berbahaya, sehingga membuat sebahagian penonton menjerit dan berteriak. Karena tak kuasa menahan suaranya. Melihat botol-botol plastic berterbangan, botol gallon terus berjatuhan, jerigen yang beradu sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang dimainkan rupa oleh actor yang selalu membuat penonton terus terpukau. Setiap sampah plastic yang berserakan di atas panggung, setiap itu pula dibersihakan oleh para actor dari arah kiri dan kanan panggung, begitu terus berulang.
Teater tanpa kata maupun kalimat ini, didominasi oleh permainan tubuh yang terus tereksplore. Verbalitas lebih terlihat dengan jelas dengan permainan tubuh dan idiom plastic yang diusung. Meskipun tidak semua bahaya plastic disampaikan lewat idiom plastic itu sendiri. Ada beberapa adegan disampaikan lewat pemukulan terhadap actor lain dengan gerakan slowmotion, ada juga adegan seorang actor yang baru keluar dari balik dinding, lalu kepalanya diperangkap dengan jaring, sehingga ia menjadi hilang. Kejelian sutradara menciptakan adegan demi adegan sangat memukau. Karena tidak ada satu orangpun terlihat jenuh, bahkan terus terpukau melihat ulah actor yang terkadang terlihat lucu, meskipun tidak bermaksud untuk melucu. Berbagai sketsa atau pose-pose dan spektakel yang dihadirkan juga tak kalah menarik dan sangat memukau. Sehingga tak terasa sudah 30-an menit pertunjukan berlalu begitu saja. Seorang guru swasta di Pekanbaru yang berkesempatan hadir pada malam itu, terasa sangat senang melihat pertunjukan SEGERA. “Ternyata pertunjukan teater, di dalamnya juga berupa ilmu pengetahuan yang memiliki pesan kepada penonton. Ya, seperti pementasan mala ini yang mengusung bahaya plastic bagi kehidupan. Bentuk pertunjukannyapun tidak begitu sulit untuk dipahami, meskipun dengan bahasa tubuh” sambil terus berjalan ke arah panggung, untuk memberikan selamat kepada para pemain.
Ranchman Sabur selaku pimpinan Teater Payung Hitam sekaligus sutradara dalam pementas SEGERA ini, merasa sangat senang dan tersanjung bisa memberikan apresiasi kepada penonton yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan kelompok-kelompok teater yang ada di Kota  Pekanbaru. Rasa senang ini juga disampaikan oleh Racman, pada saat sharing dan pemutaran video dokumnter proses kreatif Teater Payung Hitam sehari sebelum pementasan (17/06/2013) pukul 14.00 WIB, di Gedung Dewan Kesenian Riau yang diorganisir oleh Jurusan Seni Teater Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Semulanya direncanakan workshop oleh Rachman Sabur yang diminta oleh pihak STSR. Namun karena kesehatan beliau kurang baik, workshop digantikan dengan sharing dan pemutaran video documenter. Meskipun begitu, peserta yang berjumlah 47 orang begitu antusias mengikuti kegiatan. Salah seorang peserta merasa senang, mendapatkan pengetahuan baru. Karena semenjak di Pekanbaru ia belum pernah melihat ada kelompok ataupun pertunjukan yang lebih bermain pada tubuh.***

Insan-insan Malang Tidak Hanya Sekedar Konflik Keluarga (Catatan Pementasan Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teater dan Film, Sekolah Tinggi Seni Riau)



 Oleh: Uchien
“Insan-insan Malang” Karya Bambang Soelarto, kembali dipentaskan dalam rangka Ujian Tugas Akhir Mahasiswa jurusan Seni Teater dan Film, program Diploma Tiga Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Pementasan ini diselenggarakan di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Pekanbaru, Minggu 17 Februari, 20.00 WIB. Bertindak selaku sutradara atau yang teruji Rohasimah.
Insan-insan Malang, syarat dengan persolan social-politik pada masa kelahiran naskah lakon karya Bambang Soelarto ini. Pada tahun 60-an Indonesia mengalami perpecahan di dalam tubuh pemerintahan. Saling intrik antar organisasi dan partai semakin menjadi-jadi. Saling intrik ini disebabkan oleh dua ideologi yang berlawanan, Kapitalis-Imperealis versus Sosialis-Komunis. Pada naskah Insan-insan Malang ini mencoba mewakili pertentangan pandangan ini terhadap tokoh Pelamar Satu (Sulaiman) dan Pelamar Dua (Riki).
Adegan awal, munculnya tokoh Bapak (Syarif) yang mengamati photo anaknya di atas lemari, Bapak menunjukkan betapa sayangnya dia terhadap anak semata wayang, bernama Wati yang akan dilamar oleh dua orang pemuda. Tak lama berselang terdengar ketukan pintu, tak lain dan tak bukan yang datang adalah seorang pemuda. Bapak menyambutnya dengan sangat ramah, dengan sedikit salah tingkah Pemuda Satu memperkenalkan dirinya. Pemuda Satu, seorang sarjana ekonomi jebolan perguruan tinggi Amerika. Punya kedudukan tinggi sebagai direktur sebuah perusahaan industry obat-obatan. Punya rumah gedung tingkat dua, punya dua mobil sedan. Dari status Pemuda Satu ini menandakan, dia adalah seorang pemuda yang kaya raya. Hal inilah yang menyebabkan Pemuda Satu dihujat oleh Pemuda Dua, sebagai borjuis tengik anti revolusi, dia juga dituduh sebagai komprador nekolim.              
Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud hati untuk melamar Wati, Pemuda Satu mohon diri untuk pergi. Sebelum pergi Bapak mengingatkan bahwa masih ada satu orang pemuda lagi yang datang untuk melamar. Bapak menegaskan bahwa Pemuda Satu baru berstatus sebagai calon menantu. Setelah Pelamar Satu pergi, Bapak memperlihatkan ketidaksenangannya, dia menilai Pemuda Satu, laki-laki yang sombong, telah membanggakan harta kekayaannya. Kemarahan Bapak disambut dengan kehadiran Pemuda Dua.
Pemuda Dua, seorang pegawai tinggi, asisten ahli dalam bidang social-politik cabinet. Pernah belajar ilmu politik di Universitas Negara Sosialis. Sangat tidak suka dengan Pemuda Satu yang menghinanya sebagai badut politik yang terus menurus mengibuli rakyat. Kerjanya cuma main komisi, makan suap, manipulasi, korupsi. Bikin inflasi, memproduksi slogan-slogan basi. Pemuda Dua datang menghadapi Bapak juga ingin maksud hatinya untuk melamar wati, namun Bapak juga dibikin kesal olehnya, dengan maksud mencampurkan urusan keluarga dengan politik.
Melihat dari kedua pelamar Wati, penulis naskah tidaklah melihat persolan sederhana, dari permaslahan keluarga, namun dapat dilihat persoalan besar dibalik itu semua. Persoalan politik dapat dilihat dari pertentangan idelogi besar yang diwakili oleh tokoh Pemuda Satu dengan Pemuda Dua yang memperebutkan Wati. Wati barangkali bisa dianalogikan sebagai bangsa Indonesia yang pada saat itu ingin menemukan identitas. Tapi kemudian Bapak tidak mau melepaskan anaknya begitu saja, sampai pada akhirnya Wati memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bapak merasa terpukul sekali dan mersa bersalah, ditambah dengan surat yang ditulis Wati dibacakan oleh Pemuda (Ridwan) keluarga dekat Bapak. “…kukatakan dengan terus terang, bahwa tidak satupun dari mereka yang menjadi pilihan hatiku, Bapak setuju. Aku mohon memilih jodoh sendiri, bapak menolak. Sejak itu timbul perasaan aneh dalam diriku, aku merasa berhadapan dengan hantu jahat. Bapak hendak menguasai hidupku, aku jadi benci kepadanya. Aku dikurung dalam kamar dan Bapak menghiburku dengan belaian sayang, tidak sebagai anak kandung sendiri, tetapi sebagai wanita, aku benci Mas. Aku tidak tahan Mas. Selamatkanlah aku dari hantu jahat ini Mas. Jika tidak, aku akan menyelamtkan diriku, dengan caraku sendiri, jika tak bisa bertahan lagi menghadapi si hantu…”. Belum selesai surat dibaca, Bapak merampasnya dari tangan Pemuda. Emosi bapak bercampur aduk, dari rasa sedih, karena mersa bersalah terhadap pelakuannya dan marah, karna Bapak tahu, bahwa ternyata Wati menyukai Pemuda. Bapak kalut, dan masuk ke kamar. Di dalam kamar tercium bau kain terbakar, wajah Bapak terbakar, lalu ia terus mengoceh tentang perbuatannya menuju pintu dan keluar.  
Dilihat dari keseluran element pementasan. Naskah lakon realis ini, digarap dengan konsep presentasi. Dari latar tempat dan waktu sett panggung, rias dan kostum dibangun sesuai  dengan kelahiran naskah. Namun, hal itu tidak terlihat secara keseluruhan hadir di atas panggung. Sutradara tidak detail, panggung yang sangat lebar dibiarkan kosong, banyak ruang mestinya masih bisa diisi dengan beberapa perabotan. Kemudian yang dibiarkan oleh sutradara adalah kesamaan warna dasar permainan, sehingga pementasan terlihat datar. Padahal actor menjadi yang utama dalam pementasan.
Terlihat juga, bahwa actor tidak begitu total untuk mengenali tokoh, dangkal interpretasi, sehingga tubuh actor menjadi sangat mekanis. Actor hanya bermain secara fisik dan tampak luarnya saja dan usaha untuk bermain inner menjadi ngambang dengan tidak menjaga intensitas bermain. Mestinya actor bermain menjadi milik si karakter, tidak hanya sekedar mewakili si karakter. Sebaiknya actor juga mengutamakan indentifikasi antara jiwa si actor dengan jiwa si karakter, sambil membiri kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang (Eka D. Sitorus: 2003).   
Seperti juga yang pernah disampaikan oleh Stanislavsky “actor menjadi penting dalam sebuah proses produksi. Actor adalah pemegang kendali tercapainya pesan yang ingin disampaikan oleh penulis naskah melalui konsep yang diciptakan oleh sutradara”.   

Husin, Tenaga Pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Praktisi Teater