Sabtu, 23 November 2024

Nata Sukma: Titik Balik Episentrum Perlawanan Petani Atas Perjuangan Reforma Agraria

Oleh: Husin a.k.a Ucin

Titik Balik Episentrum Gerakan Perlawanan

Melihat dan mengamati langsung lakon pementasan Nata Sukma, saya dan penonton lainnya dibawa jauh pada dimensi sejarah masa lampau. Ada pengetahuan sejarah pergerakan perlawanan petani pada masa kolonial, yang membuat saya mengulik dan membaca kembali catatan pergerakan perlawanan setelah usai pementasan. Nata Sukma merupakan karya sastra tutur klasik Sunda atau juga disebut “Wawacan Nata Sukma” diadatasi bebas dan merdeka oleh Tatang Rusmana, sebagai penulis naskah lakon sekaligus bertindak sebagai sutradara dan pemain. Sebelum menjadi naskah lakon teater, ia berupa penelitian dan dipublikasikan pada Jurnal Mudra (2018), Technium Social Science Journal (2024), dan dibukukan pada book chapter Kajian Naskah Nusantara oleh Manassa, Yogyakarta dan Oceania Press (2024).  

Kisah Wawacan Nata Sukma mengandung perlawanan metaforis, liar, menggelitik, dan patriotik dari tokoh “Nata Sukma”. Cerita ini pernah dipentaskan pada tahun 1930 hingga 1960 di Kabupaten Bandung. Nata Sukma berjuang melampaui perang dan penindasan. Ia berhasil memperdalam ilmu, mengubah nasib, dan meraih kehidupan bermartabat setelah mengalahkan raja dilima Negara. Wawacan Nata Sukma merupakan reportase dan potret peristiwa yang terjadi pada masa “tanam paksa” dan berkaitan dengan politik identitas nasional kaum tertindas. Oleh Tatang, lakon teater Nata Sukma ditulis kembali sebagai bentuk kritik terhadap praktik kolonial yang masih menjalar hingga sekarang. “Ini adalah bentuk protes dan sindiran saya terhadap kolonialisme yang dilakukan baik oleh pemerintahan Belanda maupun Jawa (Kesultanan Mataram) di tanah Sunda. Wawacan ini lahir pada tahun 1833 M, pada peristiwa “tanam paksa” untuk menanam kopi di Pangalengan (kabupaten Bandung-Jawa Barat). Sistem “tanam paksa” kopi Parahiyangan abad ke-18 yang disebut Preangerstelsel, yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 1720. Rakyat diwajibkan menamam kopi dan menyetorkan hasilnya ke VOC melalui para bangsawan daerah. Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda dan membuat VOC menjadi produsen kopi terpenting di dunia, dengan kopi sebagai komoditas ekspor paling menguntungkan dari Jawa hingga pertengahan abad ke-19. Kebijakan ini kemudian juga mengilhami lahirnya Cultuurstelsel atau tanam paksa pada tahun 1830 yang diberlakukan pada wilayah yang lebih luas dengan komoditas tanam yang lebih beragam. Kebijakan Preangerstelsel berlangsung hingga 1916 atau sistem “tanam paksa” di Nusantara yang disebut Cultuurstelsel pada masa pra-kemerdekaan Indonesia mempunyai banyak penyimpangan. Banyak kejanggalan yang memicu perlawanan dari para petani Sunda yang membenci dan menolak menanam kopi. Peristiwa “penanaman paksa” menjadi inspirasi dan tergambar dalam Wawacan Nata Sukma. Hal ini saya tulis kembali jejak sejarah kelam dan perlawanan masyarakat Sunda sebagai bangsa tertindas yang hingga hari ini praktik demikian masih terlihat jelas”, terang Tatang dengan tegas.

Adegan Marhaen dan Para Marhaenis memukul layar
dan kursi yang tergantung, sebagai simbol kekuasaan (Foto: Ucin)

Sebagai titik balik episentrum gerakan perlawanan rakyat tertindas, tokoh epik Nata Sukma yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang mampu bangkit dari kehancuran, ia tidak sendirian. Untuk menggerakkan alur dramatik yang progresif, Tatang menghidupkan kembali tokoh epik lainnya. Di dalam pementasan lakon teater Nata Sukma, saya sebagai penonton dapat melihat Multatuli, Marhaen, dan Para Marhaenis.  

Menghidupkan kembali tokoh Muntatuli dan Marhaen di dalam naskah lakon teater Nata Sukma, menurut saya merupakan pilihan yang sangat tepat. Multatuli dan Marhaen sebagai saksi zaman, mampu membawa alur dramatik yang lebih progresif. Sebagai irisan zaman masa lalu, Multatuli mengalami dan menyaksikan langsung ketertindasan apa yang dialami oleh masyarakat yang hidup di bawah pemerintah kolonial Belanda. Multatuli sebuah nama pena dengan nama asli Eduard Douwes Dekker yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda. Dekker adalah seorang penulis dan pegawai kolonial Belanda yang terkenal karena karyanya yang berjudul "Max Havelaar". Novel ini diterbitkan pada tahun 1860 dan menjadi salah satu karya sastra paling berpengaruh dalam sejarah Belanda dan Hindia Belanda. Melalui "Max Havelaar," Multatuli mengkritik keras kebijakan kolonial Belanda dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi akibat sistem tanam paksa. Dekker menyaksikan secara langsung penderitaan rakyat akibat kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830. Kebijakan ini memaksa petani pribumi untuk menyerahkan sebagian besar tanah dan hasil panennya kepada pemerintah kolonial, yang sering kali mengakibatkan kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan yang meluas.

          Selanjutnya tokoh Marhaen, tidak kalah penting juga memiliki irisan saksi zaman yang chaos dan perlawanan yang heroik. Marhaen adalah seorang petani kecil yang memiliki lahan dan alat pertanian sendiri, tetapi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Meskipun memiliki tanah dan alat sendiri, Marhaen tetap hidup dalam keterbatasan ekonomi. Meskipun Marhaen tidak mengalami eksploitasi dari pemilik modal atau tanah besar, akan tetapi kemiskinannya disebabkan oleh keterbatasan skala dan kondisi struktural yang tidak adil. Marhaen merupakan gambaran umum dari keadaan mayoritas rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Banyak petani kecil, buruh, dan pekerja di Indonesia yang, meskipun memiliki alat produksi mereka sendiri, hidup dalam kemiskinan karena sistem kolonial yang memiskinkan. Dari seorang Marhaen yang pernah ditumui Soekarno, yang kemudian menjadi inspirasi untuk menjadikannya sebagai sebuah ideologi politik yang berfokus pada perjuangan kelas masyarakat kecil di Indonesia yang kita kenal dengan sebuatan Marhainisme. Di dalam naskah lakon Nata Sukma dapat tergambar dari tokoh Para Marhaen.

          Lakon Nata Sukma karya Tatang R. Macan hasil dari pengadaptasian yang penuh kebebasan, dari Wawacan Nata Sukma dapat saya rasakan bentuk protes dan perlawanan yang lugas melalui pementasan pada malam terakhir Pekan Apresiasi Teater (PAT) ke-7 Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, 12 Oktober 2024, di Teater Arena Mursal Esten. Malam terakhir Pekan Apresiasi Teater, sebagai event reguler Prodi Teater ISI Padangpanjang yang memang telah lama vakum, dipenuhi penonton yang juga penasaran ingin menyaksikan langsung besutan sutradara Tatang R. Macan yang dikenal dengan cirikhas protes dan bentuk pernyataan yang lugas.

                   

Gerakan Perlawanan Menggelegar Pada Pekan Apresiasi Teater 7

          Gambaran perlawan sangat terasa diawal kemunculan. Saya melihat dengan jelas Nata Sukma (Dwi Setiawan), Marhaen (M. Anderanda), dan Para Marhaenis (M. Arif dan Ananda Rahmat) yang menggunakan masker respiratur dengan membawa orang-orangan sawah menyatukan kekuatan untuk menghadang musuh yang melakukan penindasan terhadap pekerja tanam paksa. Membentuk komposisi, menguasai setiap ruang dan bersiap-siap untuk menghadang. Kemudian secara bersamaan mereka berlari kearah belakang panggung, menyerang layar berwarna putih yang di atasnya bergelatungan sebuah kursi sebagai simbul penguasa. Perlawanan diperkuat dengan cahaya panggung berwarna merah dan suasana musik yang penuh dengan kewaspadaan. Pada setiap bagian Nata Sukma dan Marhaen secara bergantian dengan lantang menyatakan perlawanan dan penolakan terhadap kolonialisme yang meberlakukan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat.

          Setiap pergerakan dan ruang perlawanan, telah diamati sedari awal oleh Multatuli (Tatang). Kemudian pada bagian tengah, Multatuli muncul dari bagian belakang kiri panggung, menghampiri Nata Sukma, Marhaen, dan Para Marhaenis. Menjelaskan bobroknya pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebagai saksi zaman Multatuli memperkenalkan diri dan mengutarakan apa yang pernah disaksikannya. “Tuan dan Nyonya yang terhormat, terimalah salam saya. Nama saya Multatuli, datang dari masa lalu. Saya ditugaskan di Ranggas Bitung, Ibu Kota Lebak Banten. Saya telah menyaksikan suata pemandangan yang penuh dengan kegilaan. Rakyat ditidas oleh Bupati mereka sendiri. Mereka hanya bisa bercerita dan tidak bisa tertawa, dan hak-hak pribadi mereka diperkosa demi kekuasaan”, begitu meyakinkan menjelaskan peristiwa masa lalu.

Nata Sukma, Marhaen dan Para Marhaenis menyampaikan
tentang penindasan oleh penguasa (Foto: Ucin)

          Setelah Multatuli menjelaskan pahitnya peristiwa masa lalu, kemudian Nata Sukma berkumpul di bale-bale yang di atasnya berkibar bendera merah putih. Di atas bale-bale, Nata Sukma menyampaikan kekesalan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat. “Alangkah sesatnya dunia ini. ..korporasi-korporasi yang masih memeras keringat rakyat. ..dan kerumunan manusia yang masih berbenturan dengan kebisingan kota”, tak lama berselang, Nata Sukma turun dari bale-bale, kemudian Marhaen dan Para Marhaenis memperagakan gerakan pekerjaan tanam paksa. “panen kopi dirampas, diperkosa, pada masa tanam paksa pada dua abad yang lalu, akibat kekejaman anjing penguasa Belanda yang kerasukan. Kita tahu, rakyat selalu dibantai, tanah Pasundan jadi kawasan Preangerstelsel dan seluruh Jawa jadi Cultuurstelsel.”, denga penuh semangat pemberontakan. Diakhir cerita, Marhaen dan Para Marhaenis menjinjing tanaman padi diatas kepala mereka, diiringi lirihan dendang dan sampelong dari pemusik untuk memperkuat suasana.  

          Dari peristiwa pemanggungan dari awal hingga akhir, saya dapat merasakan gerakan perlawanan dari lakon Nata Sukma. Tatang selaku pengkarya, masih terus eksis dan lantang menyuarakan kritikan terhadap ketidakadilan dengan isu-isu sosial-politik kaum tertindas hingga kini, sama dengan karya-karya sebelumnya. Saya teringat dengan apa yang juga pernah dilakukan oleh WS. Rendra, Bertold Brecht, Augusto Boal, Dario Fo, serta lainnya yang beririsan dengan itu semua.

          Oleh sutradara, lakon Nata Sukma, tidak berhenti pada Pekan Apresiasi Teater 7 saja. Lakon Nata Sukma juga dipentaskan di UiTM, Selangor, Malaysia pada 16 Oktober 2024 dan di Gedung Kesenian Kota Palembang pada 27 Oktober 2024, tentunya mendapat sambutan baik dari masyrakat penonton dan mendapatkan beragam komentar. Di UiTM misalkan, penonton dapat merasakan penderitaan sekaligus perjuangan yang tergambar dalam lakon Nata Sukma. “Saya sangat berempati dan tadi juga sempat menangis menyaksikan lakon Nata Sukma, tekanan yang dirasakan oleh Masyarakat juga dapat kami rasakan disini”, dengan penuh lirih menyampaikan yang tidak mau disebutkan namanya. Berikunyat, lain hal pula yang disampaikan oleh salah satu penonton di Palembang. “Membentangkan karya lakon Nata Sukma, seperti memberikan pengetuhuan baru akan peristiwa Sejarah perjuangan masa lalu, meskipun nama-nama tokoh yang coba dihidupkan kembali, ada banyak pelajar muda atau Gen-Z sebutan popular sekarang yang tidak mengetahuinya. Namun saya sangat mengapresiasi pertunjukan Nata Sukma, semoga para Gen-Z yang ada disini bisa mencari atau mengulik kembali tentang Sejarah dan para tokoh yang ada di dalam pertunjukan.” Ungkap Pak Toton menjelaskan penuh antusias.

Multatuli, sebagai saksi zaman menceritakan
tentang sejarah masa lalu (Foto: Ucin)

          Dari apa yang diungkapkan oleh penonton beberapa penonton di atas, saya sadar bahwasanya teater menjadi sangat penting untuk mengungkap relitas yang terjadi di Tengah Masyarakat. Terlebih lagi kepada Masyarakat yang merasakan langsung penindasan dan perampasan ruang kehidupan oleh “Kolonial Baru” yang telah menggurita di negeri ini. Kita tahu, ada banyak ruang kehidupan yang dirampas, kemudian memperjuangkan itu semua, nyawapun sebagai taruhan. Kita bisa lihat, misalkan konflik antara masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumbar dengan PT PHP I yang terus berulang padaha sudah ada regulasi dan aturan melalui Peraturan Presiden No 62 tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria. Ada lagi perjuangan yang dilakukan oleh Masyarakat Rempang yang berhadapan dengan pemerintah Batam demi meloloskan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Satu tahun telah berlalu, peristiwa 11 September yang memakan banyak korban dan kriminalisi terhadap masyrakat yang berjuang. Ada banyak banyak konflik agaria yang dialami oleh masyrakat petani pemilik sah lahan secara turun temurun, diantaranya; Wadas (Jawa Tengah), Kota Baru (Lampung Selatan), Pakel (Jawa Timur), dan ada banyak lagi yang lainnya. Kasus dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia, memberikan rapor merah kepada pemerintahan Jokowi.

 

Pemuda: Jangan Sampai Termakan Sumpah, Jadilah Garda Depan Perjuangan Rakyat  

          Menyaksikan langsung Lakon Nata Sukma, saya jadi banyak belajar dan membayangkan lakon Nata Sukma tidak hanya dipentaskan dan hanya disaksikan oleh pelaku seni, kaum terpelajar saja. Namun lebih jauh dari itu semua, lakon Nata Sukma juga dapat disaksikan langsung ke dalam titik episentrum konflik agaria yang banyak terjadi. Saya dapat merasakan bagaimana Nata Sukma, Multatuli, dan Marhaen telah berjuang sejak usia muda. Lalu membayangkan kembali pemuda Indonesia berada di garda depan perjuangan masyarakat yang mengalami langsung penindasan, penggusuran, penculikan, bahkan pembunuhan yang terus berulang. Pemuda Indonesia jangan sampai termakan sumpah oleh ikrar pada kongres pemuda yang telah dikumandangkan bersama-sama. Kongres dan Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak 1928, merupakan gerakan politik anak muda Indonesia yang lahir karena memiliki nasib yang sama akan ketertindasa yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 para pemuda telah berkumpul dan bersatu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain sebagainya.

Melalui lakon Nata Sukma dan Sumpah Pemuda, ada banyak pelajaran, gagasan, dan metode gerakan perjuangan harus diulang kembali. Pemuda Indonesia, bersatulah, bangun kekuatan bersama dan jangan sampai kalian termakan sumpah. Diakhir tulisan ini saya teringat sebuah pesan dari Haji Misbach “Nah nyatalah bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk menolong kepada siapa saja yang mendapat penindasan, hingga kita diwajibkan untuk berperang jika penindasan itu belum dihentikan.” Dari itu semua, saya dan kita banyak belajar akan gerakan perjuangan.

 

Kesimpulan

Pertunjukan teater "Nata Sukma" oleh Tatang Rusmana menghadirkan sebuah lakon perlawanan yang sangat relevan dengan konteks ketidakadilan agraria masa kini. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Multatuli dan Marhaen yang memiliki ikatan sejarah kuat, pementasan ini berhasil menggugah penonton untuk merenungkan sejarah perlawanan petani pada masa lalu dan kaitannya dengan situasi sosial-politik masa kini. Nata Sukma menjadi simbol bagi perjuangan rakyat kecil yang tertindas, menggugah rasa empati dan kesadaran kita akan pentingnya reformasi agraria yang berkeadilan.

Pertunjukan ini mengingatkan bahwa perlawanan adalah bagian dari identitas bangsa yang harus terus hidup dalam diri generasi muda. Di tengah maraknya konflik agraria dan penindasan, lakon Nata Sukma menjadi panggilan bagi pemuda Indonesia untuk tetap kritis, bersatu, dan terus memperjuangkan keadilan sosial demi kemaslahatan rakyat.


*tulisan ini diterbitkan pertama kali di media web ihwal.co


Share:

Rabu, 30 Desember 2015

Kecacatan 'Ruang Dengar' RRCI Setelah Usai


Oleh: Uchien
Sampai saat inipun saya masih terus bersyukur, akhirnya saya bisa juga menyaksikan performance alunan music yang dimainkan oleh kawan-kawan Riau Rhythm Cambers Indonesia (RRCI). Setelah sekian kali RRCI membentangkan karyanya pada ruang-ruang apresiasi yang tersedia di kota Pekanbaru. Rasa syukur yang saya paparkan ini, karena saya tidak lagi menghantamkan kepala saya ditembok rumah, hingga pecah dan segala isinya berserakan. Namun, rasa penyesalan itu tidak berlangsung lama. Tentunya saya harus secepatnya mengobati dan mengumpulkan kembali isi kepala yang telah terlanjur berserakan. Setelah saya merangkai isi kepala dengan lengkap dan benar, kemudian sudah bisa berpikir normal, saya teringat dengan seorang teman yang pernah memberitahukan tentang video di bawah ini.


Asyek.. sungguh kenikmatan yang meyembuhkan segala lelah yang ada di tubuh ini. Walaupun video yang saya tonton ini adalah berupa dokumentasi launching album Suvarnadvipa yang  mereka pentaskan di Gedung Pertunjukan Idrus Tintin pada tanggal 19 September 2015. Dari launching album Suvarnadvipa dengan melalui proses research yang teramat mendalam ini, RRCI menikmati hasil panen yang berbuah manis. Dengan dibuktikannya, satu minggu setelah launching album Suvarnavipa naik keperingkat pertama The Journey of Musical Harmony menduduki TOP CHART di iTunes Indonesia. Sebuah prestasi yang dapat disandang oleh putra-putra Riau. Namun sayang sekali saya belum juga bisa mendengar dan menyaksikannya.    
Cihuy.. Alhamdulillah, akhirnya kami (saya, istri dan dua orang kawan) diberikan kesehatan dan waktu untuk membawa sepasang telinga untuk mendengar sekaligus menyaksikan RRCI di Sapu Lidi Centre pada (27/12/15). Pada kesempatan malam itu menjadi program ‘Ruang Dengar’ ketiga RRCI untuk menjemput ratusan pasang telinga pada ruang public yang menjadi pentas alternatif mempersentasikan karyanya dengar lebih santai, friendly dan bersahabat. Sebelumnya program Ruang Dengar, pertama dilaksanakan pada awal bulan maret 2015 di Taman Budaya Riau dengan penonton yang terbatas. Setelah itu yang kedua pada pertengahan bulan Juni 2015 lalu kembali di pentaskan dalam konsep latihan di basecamp RRCI, bertempat di Museum Sang Nila Utama Provinsi Riau dengan mempersiapkan proses latihan karya album ke – 7 bertema SUARNADVIPA saat itu dihadiri oleh kawan-kawan wartawan. 
Siap.. Kami sangat siap dan safety sekali membawa sepasang telinga masing-masing. Sebelum berangkat dari rumah yang berada diperbatasan Pekanbaru-Kampar (Bangkinang), kami terlebih dahulu  menggosok dan mencongkel sepasang telinga dari segala kotoran yang telah terkontaminasi. Setelah itu kami tidak lupa untuk menyimpannya ke dalam box dan menguncinya dengan gembok, agar telinga kami tidak mendengar suara-suara lain yang menganggu pendengaran kami selama perjalanan. Karena telinga kami, hanya dipersiapkan untuk mendengar irama, rytme, melody, dan tempo yang keluar dari instrument (gambus, violist, cello, gendang, calempong, gong, flut, akordion, drum, dan lain sebagainya) yang dimainkan oleh kawan-kawan RRCI. 
Keren.. Sesampainya di Sapu Lidi Centre, kamipun bersalaman dan bertegur sapa dengan pasang telinga yang lebih dahulu hadir, sembari celingak-celinguk mencari bangku dan meja  kosong yang memang sudah dipenuhi oleh ratusan pasang telinga yang telah disiapkan masuk pada Ruang Dengar. Sepertinya yang lainnya, sebelum membuka gembok box telinga yang kami simpan. Kamipun memesan minuman dan makanan yang ada di daftar menu. Setelah itu, barulah kami membuka gembok box telinga dengan penuh kehati-hatian, kemudian memasangnya dan sedikit memperbaiki stelan telinga, agar audionya baik dan tajam. Pertama yang kami dengar, Rino Dezapati (komposer) menjelaskan perjalan kesenimannya secara personal dan proses kreatif RRCI yang memang tidak semudah Rino bercerita malam itu. RRCI dibangun dengan segala upaya yang dilewati penuh perjuangan melewati jalan terjal, licin, bebatuan, kemudian memasuki Rimba Raya yang memang belum pernah dimasuki oleh manusia manapun. Mereka membuka jalan menuju Rimba yang penuh dengan misteri alamnya. Namun dengan segala upaya, mereka dapat menaklukkannya.
Bravo.. Setelah menaklukkan Rimba Raya, merekapun menghadapi tantangan baru untuk dapat menaklukkan segala misteri kejayaan peradaban masa lalu ‘Suvarnadvipa’, istilah yang digunakan oleh orang India untuk menyebut dataran Sumatera. Tidak tanggung-tanggung napak tilas yang teramat panjang ini tidak menyurutkan semangat mereka. Maka segala kejayaan ‘Suvarnadvipa’ dapat diketahuai lewat persentasi enam repertoar karya yang akan diperdengarkan. Seluruh pasang telinga yang hadir siap memasuki Ruang Dengar.
Memasuki Ruang Dengar.. Penjelasan panjang yang dengan mudah dideskripsikan oleh Rino, terhimpit oleh lengkingan suara yang dikeluarkan oleh Giring dari bangku penonton. Ini menandakan karya pertama siap untuk didengarkan. Karya pertama ini diberi judul “Svara jiva”, sebauh karya yang berangkat dari sastra lisan Kampar, Batimang (Bagandu), Badondong dan Maratok. Svara jiva, memperdengarkan ratapan seorang Ayah kepada Anak-anaknya, begitu besarnya peran seorang Ayah terhadap anak-anaknya. Namun kasih sayangnya tidak terlihat, sebagaimana Ibu memberikan kasih sayang. Karya pertama inilah yang mengajar ratusan pasang telinga untuk mengedepankan rasa kemanusiaan. Dengan memiliki rasa kemanuasian itulah maka Sumarnadvipa dihargai dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Kemudian napak tilas mengikuti perjalan “Langkapuri” untuk berpatroli mengelilingi Suvarnadvipa. Langkapuri diyakini seekor elang kapur raksasa yang menurut cerita menjaga Suvarnadvipa. Irama music yang diperdengarkanpun bermain dengan irama pelan yang mendayu-dayu. Terdengar dari koor vocal yang terasa berterbangan diangkasa dengan penuh kewaspadaan dan sesekali irama itu menukik, lalu kembali lagi berterbangan penuh semangat. Semangat yang teramat tinggi inilah yang menjadi spirit Masyarakat untuk menjaga negeri agar terus tetap Berjaya, agar tetapa bermartabat, agar tetap bermarwah, tanpa tercoreng sedikitpun.
Selanjutnya “Puti Indio Dunio” yang menjadi judul karya ketiga kembali bermain dengan irama lembut, selembut seorang putri yang sangat bijak yang mampu menjaga keharmonisan. Pada karya ketiga ini sangat terasa nuansa Kampar yang diawali dengan melodi calempong yang dinamik, lalu diisi dengan vocal, cello, flute dan dikuti dengan violist. Karya keempat berjudul “Pencalang”. Pada karya ini terasa pengkolaborasian spirit Melayu Riau pesisir dan Melayu Riau Daratan yang menjadi kekuatan Melayu itu sendiri. Kemudian pada karya kelima  “Lukah Gile”, memberikan pelajaran untuk bagaimana ketidaksadaran itu menjadi mengenali diri sendiri dan kemudian dapat memahami diri-diri lain yang ada di luar diri. Kemudian akhir reportoar, “Sound of Suvarnadvipa” menjadi karya pemuncak. Karya terakhir ini mengisahkan rangkuman kejadian masa kejayaan Sriwijaya di Pulau Sumatera.
Study.. Dari napak tilas yang teramat panjang yang dilalui penuh perjuangan oleh RRCI, ratusan pasang telingapun banyak belajar tentang kejayaan peradaban Sumatera yang memiliki hubungan pemerintahan sampai ke Cina, India, Thailand, dan lain sebagainya. Hubungan itu amat terasa dari irama music yang telah dipersentasikan. Memasuki program Ruang Dengar yang ditaja oleh RRCI bagaikan membaca buku dengan reaserch yang teramat mendalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Sungguh sebuah karya ilmiah yang mumpuni.
Cacat.. Ya, ada kecacatan yang dibiarkan dalam Ruang Dengar. Kami, dengan ratusan pasang telinga lainnya, sudah mematuhi apa yang disarankan oleh Willy Fwi. Telah kami gosok, congkel, bersihkan, dan kami gembok di dalam box agar selalu safety sampai tujuan Ruang Dengar. Namun sungguh sayang disayang, Ruang Dengar menjadi cacat setelah usai. Napak tilas yang teramat panjang tidak bertahan lama bersantai ke dalam benak dan hati kami. Napak tilas yang teramat panjang menghadapi bencana oleh alunan instrument saxophone yang ditiup oleh Kenny G.
Menyambung ungkapan Fedli Aziz disela diskusi, tentang anak perawan yang digerayangi. Saya pikir, anak laki-laki Melayu yang menggerayangi anak perawan itu tentulah anak perawan yang telah dinikahinya. Sehingga menggerayangi anak perawan, penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang teramat sangat. Begitu juga Ruang Dengar yang harus dikelola penuh dengan kasih sayang yang teramat sangat juga. Jangan biarkan kecacatan itu menggerayangi Ruang Dengar yang sudah setia dijaga. Biarkan Ruang Dengar RRCI menetap di dalam benak dan hati ratusan pasang telinga.    









Share:

Sabtu, 15 November 2014

(Catatan Pementasan “Romieh dan Juliah” Sutradara Monda Gianes) “Romeo and Juliet” dalam Peralihan Menjadi “Romieh dan Juliah”

Oleh: Husin

Masih ingat bukan, sepasang tokoh romantis “Romeo dan Juliet” yang sangat melagenda. Mereka masih saja menjadi simbol keromantisan yang merasuki keseluruh penjuru dunia. Tokoh fiktif ini dilahirkan oleh sastrawan besar, William Shakespeare. Lewat karyanya ini, Shakespeare berhasil menyajikan romansa cinta dengan nuansa klasik dan tragedi. Romantis namun tragis.
Karya masterpiece William Shakespeare ini tidaklah hanya berhenti pada karya sastra saja, karyanya dihidupkan kembali ke dalam beberapa bentuk karya, seperti drama, musikal, film, dan opera. Kisah Romeo dan Juliet menjadi sangat sukses ketika diangkat menjadi film layar lebar. Pada tahun 1996, sutradara Baz Luhrmann mengabadikan Romeo dan Juliet ke layar lebar dengan sentuhan yang berbeda dan latar yang lebih modern. Film ini dibintangi oleh Leonardo Dicaprio sebagai Romeo dan Claire Danis sebagai Juliet.  
Hingga saat inipun, tidak mudah bagi setiap orang untuk melupakan pasangan yang sangat romantis ini. Bahkan yang baru mengenal namanyapun dibuat menjadi penasaran dan langsung mengidolakannya. Rasa penasaran itu terjawab pada rabu-jum’at (01-03 Oktober 2014) malam pada pukul 20.00 WIB di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Pekanbaru, Riau. Meskipun dengan kemasan yang berbeda namun menjadi hal yang baru.
Perbedaan ini disebabkan oleh Sutradara (Monda Gianes) mengemasnya dengan kekayaan imajinasi, kreatifitas, kecerdasanya melihat kekuatan budaya lokal (Melayu). Bagi beberapa orang yang telah mengetahui kisah romantis Romeo dan Juliet, akan membayangkan nuansa klasik berlatar Eropa dan tragedi. Namun lain halnya dengan apa yang telah disuguhkan oleh produksi Teater Matan, Sutradara Monda Gianes. Oleh sutradara nama tokoh Romeo dan Juliet diganti menjadi “Romieh dan Juliah”, kemudian cerita yang begitu tragis dirubah menjadi komedi yang begitu lucu dan menghibur, namun tetap bertahan dan tidak lari dari esensi cerita.
Berangkat dari karya besar Shakespeare yang telah banyak mengalami peralihan ke dalam estetika seni, pemindahan budaya, pergesaran ruang dan waktu. Romieh dan Juliah-pun telah ikut masuk ke dalam estetika, budaya, ruang dan waktu masyarakat penonton tempatan (Melayu). Sehingga karya Shakespeare tidaklah menjadi suatu estetika, budaya, ruang dan waktu yang sangat asing bagi masyarakat Melayu. Tontonan pada malam itupun menjadi akrab dan sangat dekat dengan masyarakat Melayu.
Keakraban itu sudah dapat dirasakan pada saat dimulainya pementasan, karena seluruh pemain yang mengenakan pakaian keseharian masyarakat Melayu baik di kota maupun di desa muncul dari arah deretan bangku penonton. Mereka membentuk barisan, kemudian sambil berjalan menuju panggung, para pemain bersorak-sorai, menari dan bernyanyi lagu yang sangat akrab di telinga masyarakat Melayu. kehadiran para pemain disambut oleh teriakan dan tepuk tangan dari para penonton, sehingga para penontonpun bersia-siap dan tersadarkan bahwa Romeo dan Juliet yang mereka tonton adalah Romeo dan Juliet yang bersal dari budaya Melayu yang akan memberikan tontonan yang lucu dan sangat menghibur. 
Pada adegan kedua, Ayah Romieh menacari anaknya yang membawa remote TV. Kehadiran Ayah Romieh kembali membuat para penonton tertawa, mendengar Ayah sangat kental menggunakan dialek Melayu sambil memainkan acting yang kocak. Tidak lama berselang pada adegan selanjutnya, dua kelompok pemuda saling berseteru, keluarga Yong Tapa versus keluarga Yong Khalid. Adegan perseteruan ini membuat penonton yang tidak mampu berhenti tertawa, karena dua kelompok ini saling meneriaki untuk mulai memberi aba-aba untuk berkelahi, namun pada saat berhadapan mereka hanya berjalan santai saja. Berulang-rulang dua kelompok keluarga ini melakukan hal demikian, sampai Ustads dan Tuan Tanah (Erik) lewat dan melerai perseteruan dua kelompok keluarga. Dari adegan keadegan berikutnya, perseteruan dua keluarga inilah sebagai penghalang hubungan cinta Romieh dan Juliah.
Yong Tapa dari pihak keluarga Romieh (Al Gembot) dan Yong Khalid dari pihak keluarga Juliah (Dwi), sudah berseteru sejak lama. Diantara dua keluarga tidak satupun yang mau mengalah dan berdamai. Juliah menjadi risau, pada saat Ayahnya (Ridwan) menjodohkannya dengan pemuda kaya bernama Roy Khan (Jefri Al-Malay). Romieh dan Juliah tidak bisa tinggal diam, bagaimana caranya mereka akan tetap bersama. Lalu mereka mendatangi Penghulu (Kafrawi) agar mereka akan segera dinikahkan dan menggagalkan acara perjodohan Juliah dengan Roy Khan. Awalnya Penghulu tidak menyetujui, karena perseteruan keluarga mereka sudah terlalu lama. Penghulu menganggap cinta meraka adalah cinta terlarang. Lalu akhirnya penghulu menyarankan hubungan mereka harus dirahasiakan.  Kemudian Penghulu memberikan ramuan tidur suri tanpa sepengetahuan Romieh. Ramuan tidur suri ini diminum pada saat acara Ijab Qabul, dengan harapan Roy Khan putus asa dan mau tidak mau, harus menerimanya.
Ironisnya diluar perencanaan Penghulu, telah terjadi perkelahian sampai terbunuhnya sepupu Romieh oleh sepupu Juliah. Romieh tidak bisa menerima hal demikin dan menaruh dendam kepada keluarga Yong Khalid. Baginya, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Lalu Romiehpun membunuh sepupu Juliah, lalu melarikan diri dan menyesali perbuatannya. Dari segala kejadian ini membuat Ayah Juliah menjadi murka dan ingin segera cepat-menikahkan Juliah dengan Roy Khan.
Pada saat acara pernikahan dan ingin membacakan Ijab Qabul, Juliah telah meminum ramuan tidur suri. Acara pernikahan menjadi kacau dan sangat berantakan karena Juliah tidak sadarkan diri, mereka mengira Juliah telah meninggal, seluruh keluarga menangis dan meratapi kematian Juliah sampai mereka kelelahan dan tertidur kecuali Roy Khan. Tidak lama berselang Romieh datang dan langsung melihat Juliah sudah tidak bernafas lagi, lalu Romieh menikam Roy Khan sampai mati, lalu Romiehpun bunuh diri dengan menikam dirinya sendiri. Setelah itu tiba-tiba Juliah terbangun dan langsung melihat Romieh terbaring kaku di sampingnya, lalu Juliahpun mangambil belati dan langsung menikam tubuhnya, Juliahpun mati di samping Romieh. Setelah Roy Khan, Romieh dan Juliah terbujur kaku, barulah seluruh keluarga terbangun dari tidur dan melihat anak mereka telah mati. Melihat kejadian ini, barulah kedua keluarga yang berseteru, keluarga Yong Tapa dan keluarga Yong Khalid menyesali perbuatannya. Diakhir pementasan kembali ditutup dengan tarian dan nyanyian.
Dari seluruh rangkain pementasan, penonton tidak hentinya untuk terus tertawa. Karena memang setiap adegan selalu dikemas dengan adegan-adegan lucu yang dimainkan maksimal oleh para actor. Dilihat dari segi cerita memang tidaklah lari dari esensi cerita dari apa yang dimaksudkan oleh Shakespeare, meskipun penonton tidak lagi merasakan drama tragedi karena telah dibungkus seluruhnya oleh komedi, lucu, dan sangat menghibur. Penontonpun dapat dimanjakan dengan budaya, ruang dan waktu yang sesuai dengan keinginannya.
Barangkali inilah kelihaian sutradara untuk menterjemah ulang lalu memindahkan Romeo dan Juliet milik Shakespeare ke Ranah Budaya Melayu. Meskipun telah banyak pemindahan dan pengalihan wahana dari karya sebelumnya. Sesungguhnya Shakespeare juga telah meminjam ide dari sajak karya Arthur Brooke dan prosa karya William Painter, keduanya berangkat dari roman tragic pada zaman kuno. Dalam hal ini sutradara telah kembali mengalih wahanakan teks lama yang jauh dari zamanya menjadi teks baru yang dapat diterima oleh masyarakat penontonnya. Mengalihkan berarti mengubah, dan mengubah berarti menghasilan sesuatu yang baru dan berbeda dari yang lama sebelumnya.
Sutradarapun telah ikut untuk mempertimbangkan keinginan masyarakan penonton kita yang bercirikan bahwa tontonan harus menghibur, dan menghibur berarti lucu. Ciri inilah yang tampaknya menjadi nyawa dari teater tradisional kita, dan karenanya harus disenyawakan dengan naskah apapun  yang di bawa ke atas panggung. hasilnya akan terlihat jelas, bahwa teater tradisional boleh surut, akan tetapi nyawanya telah menghidupi teater modern kita. Seperti awal munculnya para actor Romieh dan Juliah berbaris berjalan ke atas panggung dengan penuh kegemberiaan sorak-sorai, sambil bernyanyi dan menari bagaikan Mendu, Makyong, Dul Muluk, dan para anak Randai yang bersorak sorai ingin memulai pementasan. Itulah milik kita, biarkan saja, dan mari memberikan hal yang baru.***
Share: