Oleh:
Husin
Komunitas Studio Seni Peran Riau
Beraksi yang dikomandoi oleh Willy FWi kembali memproduksi pementasan teater.
Produksi kali ini mengangkat sebuah lakon satyr yang berjudul KOOR (Kidung
Orang Orang Rakus) karya Teater Lembaga. Pementasan yang di gelar di Gedung
Ajung Seni Idrus Tintin (ASIT) ini, berbeda dengan pementasan sebelumnya.
Pementasan dilakukan sebanyak lima kali, dimulai dari hari Rabu-Minggu, 20-24
Februari, digarap secara kolosal dengan 50 aktor, penari dan pemusik.
Teater
musical ini, diawali seluruh pemain on stage di atas level berwarna putih,
berukuran 15x15 meter berbentuk tangga besar dan luas, berjenjang di bagian
kanan dan kiri. Di sudut kiri panggung ada terap, di bagian kanan panggung berjejer
selendang warna-warni. Di ruang panggung inilah penonton dapat melihat dan
menterjemahkan Negeri Durjanasia. Di negeri inilah rakyat dan pemimpinnya
menjaga keluhuran tradisi mereka untuk menjaga perut buncit. Kerena perut
buncit melambangkan kewibawaan, kesuksesan, kesejahteraan dan kesempurnaan. Koor..koor.. kaki boleh krempeng, perut
harus buncit. Tangan boleh bengkok, perut harus buncit. Dada boleh tipis, perut
harus buncit. Mata boleh cekung, perut harus buncit. Itu jugalah salah satu
janji dan sumpah mereka untuk menjaga kelestarian perut buncit, yang mereka
juga nyanyikan sebagai lagu mars kebangsaan Negeri Durjanasia.
Gambaran
dari janji dan sumpah ini, terlihat dari rias dan kostum yang dikenakan oleh 50
pemain. Wajah di rias menor, rambut acakan, pakaian warna-warni dan perut
diberi efek buncit, layaknya seorang badut. Mereka ini jugalah orang-orang yang
tidak pernah perduli dengan lingkungan dan persoalan yang ada disekitarnya,
lebih banyak memilih bermalas-malasan dan memilih untuk tidur. Pada saat mereka
tertidur pulas, ada seorang dari mereka tidak bisa tidur, karena mengidap
penyakit insomnia. Karena merasa tidak ada yang menemani, ia kemudian berteriak
“kebakaran..kebakaran..ada kebakaran”, berulangkali ia berteriak tidak ada satu
orangpun yang terbangun. Lalu ia mencoba cari lain dengan berteriak “Pembagian
sembako.. ada pembagian sembako..” mendengar kata ‘Sembako’ semuanya terbangun,
kegeringan. Hal ini membuktikan bahwa di Negeri Durjanasia lebih memikirkan
perut buncit.
Pada
adegan kedua, pementasan yang disutradarai oleh Willy FWi juga menguak
persoalan korupsi dan penyuapan di Negara Tetangga, yaitu Indonesia. Yung
(Ferrick Rivano) di kursi persidangan, bagian tengah panggung dituduh telah
melakukan punyuapan, kemudian ditetapkan sebagai terpidana penyuapan dan
diponis hukuman penjara selama 10 tahun. Adegan ini mengingatkan kita akan
lembaga hukum yang susah dipercaya, kita selalu dibingungkan dengan mana yang
benar dan salah, proses yang berbelit-belit. Karena keberpihakan hukum lebih
berpihak pada penguasa dan pemodal.
Setelah
hukuman Yung ditetapkan, tiba-tiba suara distorsi music mengantarkan Yung ke
Negeri Durjanasia, negeri dimana keserakahan harus terus diwariskan secara
turun temurun, negeri dimana segala sesuatu harus diukur dengan uang, negeri
para koruptor, para pembohong dan negeri cara penyuapan dilegalkan oleh Negara.
Di negeri inilah Yung tersesat dan merasa bingung. Yung tidak punya pilihan
lain, selain tetap tinggal di Durjanasia. Yung merasa Asing dan tidak mudah
diterima oleh lingkungan dan masyarakat. Sampai Yung bertemu dengan Centeng
Pasar (Aliph) yang memberi tahu aturan dan cara main di tempatnya. Mau tidak
mau Yung mengikuti saran dari Centeng Pasar, hal yang pertama yang dilakukannya
adalah menyogok Centeng Pasar agar ia bisa diterima. Hal ini diperparah setelah
Yung betemu dengan Kadsus (Amesa Aryana), orang paling berkuasa.
Pementasan
ini, juga menggambarkan tentang penganguran dan sulitnya mencari kerja. Antrian
panjang orang-orang yang menunggu geliran untuk mendapatkan surat rekomendasi
di posisi mana yang hendak dilamar. Pada antrian panjang ini bisa saja tidak
mengikuti aturan, asalkan dia mampu menyogok pihak administrasi dan berhak pada
urutan terdepan. Posisi kerja juga ditentukan berapa besar sogokon yang
dibayar. Melihat itu semua, Yung menjadi kehilangan arah dan tanpa tujuan. Kemudia
Yung teringat Indonesia, ia teringat dengan keluarga dan anaknya bernama
Nurani.
Kerinduan
Yung akan Indonesia diperkuat dengan tiga gadis kecil yang bernama Kasih,
Sayang dan Cinta. Gadis inilah yang tidak setuju dengan keluhuran budaya rakus
yang ada di Durjanasia, merekalah cikal bakal yang akal menyelamatkan
Durjanasia dari belenggu orang-orang rakus. Ketiga gadis ini menyayikan sebuah
lagu akan kasih sayang, kemudian disambung dengan lagu tanah air beta yang
mengantarkan Yung ke Indonesia yang sesungguhnya. Dalam nyanyian, orang-orang
yang berperut buncit tersadar akan budaya busuk yang telah mereka anut, kemudian
mereka melepaskan perut buncit mereka, bersamaan dengan itu bentangan bendera
merah putih dari arah penonton menuju panggung berbentuk gelombang.
Durjanasia, sebagai Negara fiktif
seperti tidak ada bedanya dengan Indonesia. Segala prilaku dan tindakan yang
dilakukan oleh pemimpin dan masyarakatnya, juga dilakukan di Indonesia,
bagaikan saudara kembar yang sangat identik. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme,
sogok dan suap. Negara hukum yang cacat hukum, karena pengadilan lebih berpihak
pada penguasa dan capital (pemodal). Kita teringat dengan kasus rakyat kecil
yang mengambil kapuk, kakoa, dan pepaya untuk dimakan, bisa langsung diponis
hukuman penjara. Sedangkan koruptor yang jelas-jelas mencuri uang Negara (rakyat),
prosesnya bisa berbelit-belit dan sampai pada keputusan dia tidak bersalah,
dengan alasan tidak cukup bukti. Kemudian masalah pengangguran dan kemiskinan
yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya.
Dua Negara inilah yang coba
divisualkan di atas panggung. Hal ini yang membuat kita masih percaya, bahwa
seni teater sampai saat ini dan masa akan datang, terus memberikan kontribusi
pikiran terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Teater akan terus
menjembati realitas social yang ada, ke dalam dunia panggung. Pada pementasan
ini, sutradara berhasil memindahkan persolan ke atas panggung, secara visual.
Pementasan ini bisa diterima oleh setiap lapisan masyarakat perkotaan yang
terkesan nge-pop.
Keberhasilan ini juga dapat dilihat,
dari pemain yang mampu menyembunyikan kepenatan tubuhnya. Sebagai tubuh yang
normal, tentulah akan mengalami penurunan stamina, jika dipaksakan untuk
berperan sebagai tubuh actor selama lima kali pementasan. Namun, dalam
pementasan kali ini, kepenatan itu tidak terlihat. Namun dalam keberhasilan
ini, ada hal yang menganggu pendengaran.
Gangguan ini, disebabkan oleh
pilihan suara natural yang dikeluarkan actor atau suara yang dibantu oleh condensor dan suara music yang
menggunakan alat technologi digital.
Condenser yang diletakkan di balik wing, kiri kanan panggung mempengaruhi
perubahan dari suara actor yang dikeluarkan. Misalkan saja, jika actor
berdialog tepat di pinggir panggung terdengar suara sangat keras. Namun, jika
actor berdilog tepat di tengah panggung suara jadi kecil, tapi artikulasi dan
intonasi masih tetap terdengar jelas. Dari pilihan penggunaan condenser ini
suara yang dikeluarkan jadi tumpang tindih dan tidak seimbang. Sebaiknya,
dipilih salah satunya saja. Kemudian music yang telah ditata dengan baik
menjadi kurang nikmat didengar, karena volume suara yang terlalu tinggi dan
mendominasi.
Semoga pada pementasan berikutnya,
hal yang menyangkut teknis bisa lebih dipertimbangkan secara matang, kematangan
kita juga yang telah meng-Indonesia. tidak bisa dipungkiri, bahwasanya kita
telah lahir dan dibesarkan di bawah bendera merah putih yang berjalan melintasi
kita di deretan panggung penonton. Mari melihat Indonesia sesungguhnya dengan
Kasih, Sayang dan Cinta.
Husin, Tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Praktisi Teater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar