Label

Kamis, 18 Juli 2013

Kasih, Sayang, dan Cinta Penyelamat Negeri Durjanasia - Indonesia dari Cengkraman Kidung Orang Orang Rakus (KOOR)

Oleh: Husin
            Komunitas Studio Seni Peran Riau Beraksi yang dikomandoi oleh Willy FWi kembali memproduksi pementasan teater. Produksi kali ini mengangkat sebuah lakon satyr yang berjudul KOOR (Kidung Orang Orang Rakus) karya Teater Lembaga. Pementasan yang di gelar di Gedung Ajung Seni Idrus Tintin (ASIT) ini, berbeda dengan pementasan sebelumnya. Pementasan dilakukan sebanyak lima kali, dimulai dari hari Rabu-Minggu, 20-24 Februari, digarap secara kolosal dengan 50 aktor, penari dan pemusik.   
Teater musical ini, diawali seluruh pemain on stage di atas level berwarna putih, berukuran 15x15 meter berbentuk tangga besar dan luas, berjenjang di bagian kanan dan kiri. Di sudut kiri panggung ada terap, di bagian kanan panggung berjejer selendang warna-warni. Di ruang panggung inilah penonton dapat melihat dan menterjemahkan Negeri Durjanasia. Di negeri inilah rakyat dan pemimpinnya menjaga keluhuran tradisi mereka untuk menjaga perut buncit. Kerena perut buncit melambangkan kewibawaan, kesuksesan, kesejahteraan dan kesempurnaan. Koor..koor.. kaki boleh krempeng, perut harus buncit. Tangan boleh bengkok, perut harus buncit. Dada boleh tipis, perut harus buncit. Mata boleh cekung, perut harus buncit. Itu jugalah salah satu janji dan sumpah mereka untuk menjaga kelestarian perut buncit, yang mereka juga nyanyikan sebagai lagu mars kebangsaan Negeri Durjanasia.
Gambaran dari janji dan sumpah ini, terlihat dari rias dan kostum yang dikenakan oleh 50 pemain. Wajah di rias menor, rambut acakan, pakaian warna-warni dan perut diberi efek buncit, layaknya seorang badut. Mereka ini jugalah orang-orang yang tidak pernah perduli dengan lingkungan dan persoalan yang ada disekitarnya, lebih banyak memilih bermalas-malasan dan memilih untuk tidur. Pada saat mereka tertidur pulas, ada seorang dari mereka tidak bisa tidur, karena mengidap penyakit insomnia. Karena merasa tidak ada yang menemani, ia kemudian berteriak “kebakaran..kebakaran..ada kebakaran”, berulangkali ia berteriak tidak ada satu orangpun yang terbangun. Lalu ia mencoba cari lain dengan berteriak “Pembagian sembako.. ada pembagian sembako..” mendengar kata ‘Sembako’ semuanya terbangun, kegeringan. Hal ini membuktikan bahwa di Negeri Durjanasia lebih memikirkan perut buncit.
Pada adegan kedua, pementasan yang disutradarai oleh Willy FWi juga menguak persoalan korupsi dan penyuapan di Negara Tetangga, yaitu Indonesia. Yung (Ferrick Rivano) di kursi persidangan, bagian tengah panggung dituduh telah melakukan punyuapan, kemudian ditetapkan sebagai terpidana penyuapan dan diponis hukuman penjara selama 10 tahun. Adegan ini mengingatkan kita akan lembaga hukum yang susah dipercaya, kita selalu dibingungkan dengan mana yang benar dan salah, proses yang berbelit-belit. Karena keberpihakan hukum lebih berpihak pada penguasa dan pemodal.
Setelah hukuman Yung ditetapkan, tiba-tiba suara distorsi music mengantarkan Yung ke Negeri Durjanasia, negeri dimana keserakahan harus terus diwariskan secara turun temurun, negeri dimana segala sesuatu harus diukur dengan uang, negeri para koruptor, para pembohong dan negeri cara penyuapan dilegalkan oleh Negara. Di negeri inilah Yung tersesat dan merasa bingung. Yung tidak punya pilihan lain, selain tetap tinggal di Durjanasia. Yung merasa Asing dan tidak mudah diterima oleh lingkungan dan masyarakat. Sampai Yung bertemu dengan Centeng Pasar (Aliph) yang memberi tahu aturan dan cara main di tempatnya. Mau tidak mau Yung mengikuti saran dari Centeng Pasar, hal yang pertama yang dilakukannya adalah menyogok Centeng Pasar agar ia bisa diterima. Hal ini diperparah setelah Yung betemu dengan Kadsus (Amesa Aryana), orang paling berkuasa.
Pementasan ini, juga menggambarkan tentang penganguran dan sulitnya mencari kerja. Antrian panjang orang-orang yang menunggu geliran untuk mendapatkan surat rekomendasi di posisi mana yang hendak dilamar. Pada antrian panjang ini bisa saja tidak mengikuti aturan, asalkan dia mampu menyogok pihak administrasi dan berhak pada urutan terdepan. Posisi kerja juga ditentukan berapa besar sogokon yang dibayar. Melihat itu semua, Yung menjadi kehilangan arah dan tanpa tujuan. Kemudia Yung teringat Indonesia, ia teringat dengan keluarga dan anaknya bernama Nurani.
Kerinduan Yung akan Indonesia diperkuat dengan tiga gadis kecil yang bernama Kasih, Sayang dan Cinta. Gadis inilah yang tidak setuju dengan keluhuran budaya rakus yang ada di Durjanasia, merekalah cikal bakal yang akal menyelamatkan Durjanasia dari belenggu orang-orang rakus. Ketiga gadis ini menyayikan sebuah lagu akan kasih sayang, kemudian disambung dengan lagu tanah air beta yang mengantarkan Yung ke Indonesia yang sesungguhnya. Dalam nyanyian, orang-orang yang berperut buncit tersadar akan budaya busuk yang telah mereka anut, kemudian mereka melepaskan perut buncit mereka, bersamaan dengan itu bentangan bendera merah putih dari arah penonton menuju panggung berbentuk gelombang.      
            Durjanasia, sebagai Negara fiktif seperti tidak ada bedanya dengan Indonesia. Segala prilaku dan tindakan yang dilakukan oleh pemimpin dan masyarakatnya, juga dilakukan di Indonesia, bagaikan saudara kembar yang sangat identik. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme, sogok dan suap. Negara hukum yang cacat hukum, karena pengadilan lebih berpihak pada penguasa dan capital (pemodal). Kita teringat dengan kasus rakyat kecil yang mengambil kapuk, kakoa, dan pepaya untuk dimakan, bisa langsung diponis hukuman penjara. Sedangkan koruptor yang jelas-jelas mencuri uang Negara (rakyat), prosesnya bisa berbelit-belit dan sampai pada keputusan dia tidak bersalah, dengan alasan tidak cukup bukti. Kemudian masalah pengangguran dan kemiskinan yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya.
            Dua Negara inilah yang coba divisualkan di atas panggung. Hal ini yang membuat kita masih percaya, bahwa seni teater sampai saat ini dan masa akan datang, terus memberikan kontribusi pikiran terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Teater akan terus menjembati realitas social yang ada, ke dalam dunia panggung. Pada pementasan ini, sutradara berhasil memindahkan persolan ke atas panggung, secara visual. Pementasan ini bisa diterima oleh setiap lapisan masyarakat perkotaan yang terkesan nge-pop.
            Keberhasilan ini juga dapat dilihat, dari pemain yang mampu menyembunyikan kepenatan tubuhnya. Sebagai tubuh yang normal, tentulah akan mengalami penurunan stamina, jika dipaksakan untuk berperan sebagai tubuh actor selama lima kali pementasan. Namun, dalam pementasan kali ini, kepenatan itu tidak terlihat. Namun dalam keberhasilan ini, ada hal yang menganggu pendengaran.
            Gangguan ini, disebabkan oleh pilihan suara natural yang dikeluarkan actor atau suara yang dibantu oleh condensor dan suara music yang menggunakan alat technologi digital. Condenser yang diletakkan di balik wing, kiri kanan panggung mempengaruhi perubahan dari suara actor yang dikeluarkan. Misalkan saja, jika actor berdialog tepat di pinggir panggung terdengar suara sangat keras. Namun, jika actor berdilog tepat di tengah panggung suara jadi kecil, tapi artikulasi dan intonasi masih tetap terdengar jelas. Dari pilihan penggunaan condenser ini suara yang dikeluarkan jadi tumpang tindih dan tidak seimbang. Sebaiknya, dipilih salah satunya saja. Kemudian music yang telah ditata dengan baik menjadi kurang nikmat didengar, karena volume suara yang terlalu tinggi dan mendominasi.
            Semoga pada pementasan berikutnya, hal yang menyangkut teknis bisa lebih dipertimbangkan secara matang, kematangan kita juga yang telah meng-Indonesia. tidak bisa dipungkiri, bahwasanya kita telah lahir dan dibesarkan di bawah bendera merah putih yang berjalan melintasi kita di deretan panggung penonton. Mari melihat Indonesia sesungguhnya dengan Kasih, Sayang dan Cinta.   
            Husin, Tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Praktisi Teater                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar