Label

Selasa, 24 Februari 2009

Sumsel Sentra Kesenian Mahasiswa (Pentas tetaer STSI Padangpanjang di UNSRI)

Meski Sumatera Selatan (Sumsel), Palembang khususnya, “belum” memilki perguruan tinggi khusus dibidang kesenian (baru sebatas jurusan pendikan bahasa dan seni/FKIP, red), tapi telah dipandang sebagai salah satu sentra kesenian mahasiswa Indonesia untuk wilayah Sumatera. Hal tersebut ditandai dengan kunjungan Komunitas Lorong Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang saat tampil satu panggung bersama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Garda Anak Bangsa (GABI)’91 Universitas Sriwijaya (Unsri) sebagai pentas pembuka, selasa (18/3) lalu, Gedung Teater Unsri Indralaya. Masing-masing komunitas melakonkan “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov dan “Interogasi Rahim” karya Sutradara M Yunus.
“Untuk Sumatera, Palembang (Sumsel, red) yang lebih dekat dijangkau dan paling tepat dijadikan sentra kesenian mahasiswa Indonesia yang berkembang di Pulau Jawa. Menariknya lagi, animo penonton di sini sangat apresiatif. Tidak hanya mahasiswa, tapi juga pelajar dan masyarakat di luar kampus begitu antusias menyaksikan pentas teater”, tutur Husin, sutradara dan pimpinan rombongan STSI Padangpanjang.
Diskursus perkembangan seni dari lingkungan akademisi- jawaban sementara menyangkut belum adanya perguruan tinggi di Sumsel, Palembang khususnya- barangkali masing dipertimbangkan untung ruginya oleh masyarakat Sumsel. Pasalnya, dunia seni sangat sulit berkembang di Bumi Sriwijaya yang bersifat konsumeris, kendatipun potensi seni di Kota tidak diragukan lagi. Wacana itu diisyaratkan dalam pementasan mahasiswa STSI berjudul “Nyanyian Angsa” (Chekov), dalam dialog antara Svietlovdoff (Adri) kepada sang pembisik, Ivanitch (Roni) menyebutkan, “Cobalah piker, mereka (penonton/masyarakat,red) menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak. Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementesan selesai untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang kerumah. Dan aku, akulah… orang tua itu Nikituskha! Usiaku telah 68, sakit-sakitan lagi, dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup.”
“Itulah pilihan sadar seniman, suatu saat harus siap kehilangan panggung (profesi, red) dengan prospek masa depan seniman yang sering dianggap tidak jelas.” Dan tak dapat dipungkiri, tambah Husin, jika alasan tersebut berdampak dengan kurangnya minat masyarakat maupun pemerintah untuk mensinergikan sebuah perguruan tinggi khusus di bidang seni.
Ajang seni bertajuk pentas sebagi tindak lanjut dari pertemuan Pekan Apresiasi Teater III di Jurusan Teater STSI Padangpanjang, Sumatera Barat, Januari 2008 itu berhasil menyedot sekitar 350 orang. Sayangnya, apresiasi penonton yang begitu tinggi tidak diimbangi dengan fasilitas Gedung Pertunjukan yang terkesan kurang terawatt, seperti minimnya lampu pentas untuk pencahayaan. Kegelisahan ini disikapi Wahdaniah, ketua panitia yang mewakili UKM Teater GABI’91 fasilitator pementasan. “Dengan segala keterbatasan, kami (UKM Teater GABI’91 Unsri, red) selalu siap memfasilitasi teater kampus Indonesia yang ingin pentas di Usri sebagai upaya menggeliatkan kembali teater kampus yang ada di Palembang khususnya,” ujar mahasiswa FKIP Unsri itu.
Sementara itu, pementasan mahasiswa STSI Padangpanjang di Unsri menjadi apresiasi tersendiri bagi sivitas akademika Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP Universitas PGRI Palembang. Menurut Erpan Zahri, almamaternya selaku wadah pencetak calon guru kesenian perlu banyak berbenah untuk mengembangkan kesenian di Palembang. “Ke depan, kita (Sendratasik PGRI, red) akan mengadakan pagelaran seni di luar kampus yang lebih tertata dengan kemasan bidang seni lainnya,“ pungkasnya. (Azhari/*)

Tulisan ini diambil dari Koran Sumatera Ekspres. Minggu, 23 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar