Label

Minggu, 20 Desember 2009

Menelaah Teater, Dari Apa yang Kita Punya (Kampar) Menuju Komunitas Teater yang Progresif

Oleh: Husin

Awal
Sebelum kita jauh berbicara teater, kita akan mengetahui dan sama-sama berkenalan dulu dengan teater itu sendiri. Barangkali teater masih menjadi kata yang samar bagi masyarakat Kampar, yang jauh sebelumnya masyarakat lebih kenal dan dekat dengan kata drama atau sandiwara.
Teater atau dalam bahasa Yunani Teatron, yang dapat diartikan sebagai Gedung Pertunjukan atau Tempat Pertunjukan. Dalam hal ini bisa pertunjukan apa saja, baik itu tari, musik, drama dan seni lainnya yang bisa dipertontonkan. Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama. Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008).
Dikesempatan kali ini, berkaitan pada pelatihan / workshop terpadu yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kampar. Barangkali akan memberi kehidupan dan pertumbuhan teater yang memiliki arti penting dalam perkembangan teater Indonesia, khususnya Kampar. Tidak bisa tidak, kita akan bersama-sama saling bergandengan tangan untuk terus memajukan teater di Kampar. Saya sangat yakin sekali, bahwa kita akan mampu untuk terus berproses dan menggali akar kebudayaan Kampar yang nantinya akan sama-sama kita sinergiskan lewat perkembangan teater di Indonesia.
Sebelum kita mencoba mengetahui perkembangan teater di Indonesia, terlebih dahulu kita akan membagi jenis teater menurut perkembangannya yaitu teater tradisi, teater modern, dan teater kontemporer.

Tengah
Kasim Achmad dalam bukunya, Mengenal Teater Tradisional Indonesia (2006:4-5) mengatakan bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang lahir tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik, yang merupakan hasil kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati masyarakat lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada masyarakat di Indonesia.
Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Kampar. Ia lahir dan berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.
Bentuk-bentuk pertunjukan tradisional ini dipertegas oleh Jakob Soemardjo dalam buku Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997:18-19) bahwa unsur-unsur teater rakyat yang pokok adalah cerita, pelaku dan penonton. Unsur cerita dapat diperpanjang atau diperpendek menurut respon dan suasana penontonnya. Cerita dibawakan dengan akting (pemeranan) atau dengan menari dan menyanyi. Para pelaku berkostum sesuai dengan referensi budaya masyarakatnya, meskipun ada acuan terhadap tradisi lama. Ciri-ciri umum teater rakyat ini adalah : (1) Cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan sehari-hari; (2) Penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian; (3) Unsur lawakan selalu muncul; (4) Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan serta dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis; (5) Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau musik tradisional; (6) Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab dan bahkan tak terelakkan adanya dialog langsung antara pelaku dan publiknya; (7) Mempergunakan bahasa daerah; dan (8) Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton).
Ciri-ciri teater tradisional seperti yang dijelaskan di atas dapat kita lihat di wilayah Bangkinang Barat, lebih tepatnya Pulau Belimbing. Bagi masyarakat Pulau Belimbing diberi nama yang lebih akrab disebut Drama Amal. Teater ini dipertunjukkan hanya pada saat hari raya Idul Fitri yang seluruh masyarakatnya pulang dari rantau. Fungsi dari teater tradisional ini untuk silaturahmi, hiburan, pendidikan, dan beramal. Karena bagi masyarakat yang menonton akan dikenai biaya dengan cara membeli karcis dari pihak penyelenggara, kemudian hasil dari penjualan karcis akan diumumkan dan digunakan untuk membantu pembangunan kampung. Misalnya, untuk memperbaiki jalan, memperbaiki mesjid dan lain sebagainya.
Uniknya drama amal yang ada di Pulau Belimbing ini, dari segi penokohan. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang ditata sedemikian rupa menyerupai perempuan. Dari segi rias, kostum, dan perwatakan diusahakan semirip mungkin. Kemudian cerita yang disuguhkan, lebih pada cerita masyarakat setempat. Masyarakat akan mencoba merefleksi kembali kejadian setahun kebelakang. Maka nanti, akan kita temuai muatan kritikan dan pendidikan.
Drama amal ini hanya untuk contoh teater tradisional saja, saya yakin dibanyak kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar juga memiliki teater yang demikian. Bahkan lebih unik dari drama amal yang ada di Pulau Belimbing. Selain teater tradisional, kampar juga memiliki teater modern.
Melihat perkembangan masyarakat, akan mengalami banyak perubahan. Perubahan itu menyentuh berbagai macam bidang, baik itu dari sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Perubahan itu membawa kita untuk mencoba membaginya, ada msyarakat tradisional dan ada masyrakat modern. Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat juga mempengaruhi perubahan kesenian di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya teater.
Teater modern adalah produk budaya kota. Munculnya masyarakat kota yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, mengakibatkan munculnya permintaan bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya. Dengan percepatan budaya luar atau barat yang begitu cepat, barangkali kecepatannya melebihi speedy yang sangat mendesak. Percepatan inilah yang kemudian memaksa kita untuk dapat mengimbangi dan menetralisir lewat seni dan budaya. Teaterpun ikut bergerak lewat perubahan yang dialaminya. Teater modern lebih menekankan referensinya pada teater Barat.
Teater tradisi memang berbeda dengan teater modern dalam beberapa hal. Dramaturginya pun lain. Teater tradisi lebih merupakan upacara atau peristiwa bersama ketimbang pertunjukan. Tidak ada pemisahan antara penonton dengan pertunjukan. Sedangkan teater modern, walaupun awalnya adalah sebuah upacara, telah menjadi murni seni pertunjukan, penonton dan tontonon dibuat terpisah.
Teater modern suatu disiplin ilmu yang baku, memiliki hukum-hukum panggung yang tidak boleh dilanggar. Memerlukan teks naskah yang tertulis, sedangkan teater tradisional bisa saja secara spontanitas dan tidak perlu ditulis. Setelah itu teater modern akan menjalani proses latihan yang amat panjang, sedangkan teater tradisional bisa saja satu jam sebelum pertunjukan. Segi artistik harus dipikirkan dan dipertimbangkan sejauh mungkin, seperti penataan pentas (setting), pencahayaan (lighting), rias dan busana. Sedangkan teater tradisional bisa pada saat itu saja. Kemudian tema teater modern lebih pada fenomena atau isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Butuh waktu yang sangat panjang untuk memproduksi suatu pementasan. Proses yang biasa dilakukan oleh banyak kelompok teater modern dimulai dari pemilihan naskah, menganalisis teks naskah, olah vokal, olah tubuh, reading, lepas naskah, blocking, penggunaan property, penghalusan, pemantapan, glady resik, dan puncaknya sampai ke pertunjukan. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah pertunjukan usai perlu adanya diskusi atau kritikan dari penonton untuk perbaikan pada pertunjukan berikutnya.
Dalam teater modern sangat dibutuhkan suatu kelompok yang melitan dan konsisten untuk tetap bertahan. Barangkali di Kampar telah ada suatu organisasi teater, kalo orang teater menyebut ‘Komunitas Teater’ yang turut menyumbangkan dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat.
Setelah kita mengenali teater modern, maka sampailah kita pada jenis teater kontemporer. Teater kontemporer adalah teater yang banyak mengadakan eksperimen. Banyaknya perbandingan, pengalaman dan pengetahuan dalam menggauli teater, baik teater tradisi, teater modern (barat), dan juga teater Asia. Untuk menggauli teater kontemporer ini, dibutuhkan kreatifitas dan terus menggauli esensi dari teater itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Sahrul N pada Pekan Apresiasi Teater III se-Sumatera di Padangpanjang, tentang croos culture. Terjadi suatu percampuran konsep antara teater rakyat tradisional dengan teater modern yang datang dari Barat atau pengaruh teater yang lainnya.
Barangkali pada kesempatan kali ini kita tidak terlalu jauh untuk membicarakan tentang teater kontemporer, mudah-mudahan pada kesempatan lain kita juga akan lebih dekat tuk mengenalinya.

Akhir
Apapun jenis teater yang kita geluti, baik itu teater tradisi, teater modern, atau teater kontemporer. Perlu dipertanyakan keseriusan kita masing-masing, untuk terus mencari dan mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan teater. Mulailah membuka catatan-catatan yang sudah lama tersimpan, kumpulkanlah orang-orang yang ingin mengaplikasikan dirinya lewat teater, dan bentuk komunitas-komunitas teater disetiap Kecamatan. Karena, dengan banyaknya komunitas akan terjadi proses dealektika antar komunitas. Bagi daerah Kecamatan yang telah memiliki komunitas, mulailah untuk merapikannya kembali.
Niatkanlah orientasi berteater untuk meyakini bahwa apa yang telah kita lakukan itu, kita persembahkan untuk kebajikan hidup bersama dengan turut menyelenggarakan pencerdasan masyarakat melalui teater, pencerahan, refleksi, sosial-politik, dan merawat kehidupan spritual dimana kita berada. Karena apa yang telah kita kerjakan dan cita-citakan bukanlah untuk pribadi kita sendiri, melainkan untuk lingkungan dan masyarakat luas. Tinggal lagi yang kita butuhkan support dari setiap lapisan masyarakat dan pemerintah, dalam hal ini Dewan Kesenian Kampar akan terus mewadahi dan mengakomodir segala permasalahan yang ada di daerah Kecamatan.
Marilah berbuat dan terus berproses!


Gudang Lorong, 09 Desember 2009

Daftar Bacaan
Achmad, A. Kasim, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, CIPTA Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2006.
N., Sahrul, Membaca Teater Sumatra (Melayu) Dalam Fenomena Croos Culture, Makalah Pada Pekan Apresiasi Teater III, Padangpanjang, 2008.
Sumardjo, Jakob, Perkembangan Teater dan Drama Indonesia, STSI Press Bandung, Bandung, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar