Sabtu, 23 November 2024

Nata Sukma: Titik Balik Episentrum Perlawanan Petani Atas Perjuangan Reforma Agraria

Oleh: Husin a.k.a Ucin

Titik Balik Episentrum Gerakan Perlawanan

Melihat dan mengamati langsung lakon pementasan Nata Sukma, saya dan penonton lainnya dibawa jauh pada dimensi sejarah masa lampau. Ada pengetahuan sejarah pergerakan perlawanan petani pada masa kolonial, yang membuat saya mengulik dan membaca kembali catatan pergerakan perlawanan setelah usai pementasan. Nata Sukma merupakan karya sastra tutur klasik Sunda atau juga disebut “Wawacan Nata Sukma” diadatasi bebas dan merdeka oleh Tatang Rusmana, sebagai penulis naskah lakon sekaligus bertindak sebagai sutradara dan pemain. Sebelum menjadi naskah lakon teater, ia berupa penelitian dan dipublikasikan pada Jurnal Mudra (2018), Technium Social Science Journal (2024), dan dibukukan pada book chapter Kajian Naskah Nusantara oleh Manassa, Yogyakarta dan Oceania Press (2024).  

Kisah Wawacan Nata Sukma mengandung perlawanan metaforis, liar, menggelitik, dan patriotik dari tokoh “Nata Sukma”. Cerita ini pernah dipentaskan pada tahun 1930 hingga 1960 di Kabupaten Bandung. Nata Sukma berjuang melampaui perang dan penindasan. Ia berhasil memperdalam ilmu, mengubah nasib, dan meraih kehidupan bermartabat setelah mengalahkan raja dilima Negara. Wawacan Nata Sukma merupakan reportase dan potret peristiwa yang terjadi pada masa “tanam paksa” dan berkaitan dengan politik identitas nasional kaum tertindas. Oleh Tatang, lakon teater Nata Sukma ditulis kembali sebagai bentuk kritik terhadap praktik kolonial yang masih menjalar hingga sekarang. “Ini adalah bentuk protes dan sindiran saya terhadap kolonialisme yang dilakukan baik oleh pemerintahan Belanda maupun Jawa (Kesultanan Mataram) di tanah Sunda. Wawacan ini lahir pada tahun 1833 M, pada peristiwa “tanam paksa” untuk menanam kopi di Pangalengan (kabupaten Bandung-Jawa Barat). Sistem “tanam paksa” kopi Parahiyangan abad ke-18 yang disebut Preangerstelsel, yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 1720. Rakyat diwajibkan menamam kopi dan menyetorkan hasilnya ke VOC melalui para bangsawan daerah. Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda dan membuat VOC menjadi produsen kopi terpenting di dunia, dengan kopi sebagai komoditas ekspor paling menguntungkan dari Jawa hingga pertengahan abad ke-19. Kebijakan ini kemudian juga mengilhami lahirnya Cultuurstelsel atau tanam paksa pada tahun 1830 yang diberlakukan pada wilayah yang lebih luas dengan komoditas tanam yang lebih beragam. Kebijakan Preangerstelsel berlangsung hingga 1916 atau sistem “tanam paksa” di Nusantara yang disebut Cultuurstelsel pada masa pra-kemerdekaan Indonesia mempunyai banyak penyimpangan. Banyak kejanggalan yang memicu perlawanan dari para petani Sunda yang membenci dan menolak menanam kopi. Peristiwa “penanaman paksa” menjadi inspirasi dan tergambar dalam Wawacan Nata Sukma. Hal ini saya tulis kembali jejak sejarah kelam dan perlawanan masyarakat Sunda sebagai bangsa tertindas yang hingga hari ini praktik demikian masih terlihat jelas”, terang Tatang dengan tegas.

Adegan Marhaen dan Para Marhaenis memukul layar
dan kursi yang tergantung, sebagai simbol kekuasaan (Foto: Ucin)

Sebagai titik balik episentrum gerakan perlawanan rakyat tertindas, tokoh epik Nata Sukma yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang mampu bangkit dari kehancuran, ia tidak sendirian. Untuk menggerakkan alur dramatik yang progresif, Tatang menghidupkan kembali tokoh epik lainnya. Di dalam pementasan lakon teater Nata Sukma, saya sebagai penonton dapat melihat Multatuli, Marhaen, dan Para Marhaenis.  

Menghidupkan kembali tokoh Muntatuli dan Marhaen di dalam naskah lakon teater Nata Sukma, menurut saya merupakan pilihan yang sangat tepat. Multatuli dan Marhaen sebagai saksi zaman, mampu membawa alur dramatik yang lebih progresif. Sebagai irisan zaman masa lalu, Multatuli mengalami dan menyaksikan langsung ketertindasan apa yang dialami oleh masyarakat yang hidup di bawah pemerintah kolonial Belanda. Multatuli sebuah nama pena dengan nama asli Eduard Douwes Dekker yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda. Dekker adalah seorang penulis dan pegawai kolonial Belanda yang terkenal karena karyanya yang berjudul "Max Havelaar". Novel ini diterbitkan pada tahun 1860 dan menjadi salah satu karya sastra paling berpengaruh dalam sejarah Belanda dan Hindia Belanda. Melalui "Max Havelaar," Multatuli mengkritik keras kebijakan kolonial Belanda dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi akibat sistem tanam paksa. Dekker menyaksikan secara langsung penderitaan rakyat akibat kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830. Kebijakan ini memaksa petani pribumi untuk menyerahkan sebagian besar tanah dan hasil panennya kepada pemerintah kolonial, yang sering kali mengakibatkan kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan yang meluas.

          Selanjutnya tokoh Marhaen, tidak kalah penting juga memiliki irisan saksi zaman yang chaos dan perlawanan yang heroik. Marhaen adalah seorang petani kecil yang memiliki lahan dan alat pertanian sendiri, tetapi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Meskipun memiliki tanah dan alat sendiri, Marhaen tetap hidup dalam keterbatasan ekonomi. Meskipun Marhaen tidak mengalami eksploitasi dari pemilik modal atau tanah besar, akan tetapi kemiskinannya disebabkan oleh keterbatasan skala dan kondisi struktural yang tidak adil. Marhaen merupakan gambaran umum dari keadaan mayoritas rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Banyak petani kecil, buruh, dan pekerja di Indonesia yang, meskipun memiliki alat produksi mereka sendiri, hidup dalam kemiskinan karena sistem kolonial yang memiskinkan. Dari seorang Marhaen yang pernah ditumui Soekarno, yang kemudian menjadi inspirasi untuk menjadikannya sebagai sebuah ideologi politik yang berfokus pada perjuangan kelas masyarakat kecil di Indonesia yang kita kenal dengan sebuatan Marhainisme. Di dalam naskah lakon Nata Sukma dapat tergambar dari tokoh Para Marhaen.

          Lakon Nata Sukma karya Tatang R. Macan hasil dari pengadaptasian yang penuh kebebasan, dari Wawacan Nata Sukma dapat saya rasakan bentuk protes dan perlawanan yang lugas melalui pementasan pada malam terakhir Pekan Apresiasi Teater (PAT) ke-7 Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, 12 Oktober 2024, di Teater Arena Mursal Esten. Malam terakhir Pekan Apresiasi Teater, sebagai event reguler Prodi Teater ISI Padangpanjang yang memang telah lama vakum, dipenuhi penonton yang juga penasaran ingin menyaksikan langsung besutan sutradara Tatang R. Macan yang dikenal dengan cirikhas protes dan bentuk pernyataan yang lugas.

                   

Gerakan Perlawanan Menggelegar Pada Pekan Apresiasi Teater 7

          Gambaran perlawan sangat terasa diawal kemunculan. Saya melihat dengan jelas Nata Sukma (Dwi Setiawan), Marhaen (M. Anderanda), dan Para Marhaenis (M. Arif dan Ananda Rahmat) yang menggunakan masker respiratur dengan membawa orang-orangan sawah menyatukan kekuatan untuk menghadang musuh yang melakukan penindasan terhadap pekerja tanam paksa. Membentuk komposisi, menguasai setiap ruang dan bersiap-siap untuk menghadang. Kemudian secara bersamaan mereka berlari kearah belakang panggung, menyerang layar berwarna putih yang di atasnya bergelatungan sebuah kursi sebagai simbul penguasa. Perlawanan diperkuat dengan cahaya panggung berwarna merah dan suasana musik yang penuh dengan kewaspadaan. Pada setiap bagian Nata Sukma dan Marhaen secara bergantian dengan lantang menyatakan perlawanan dan penolakan terhadap kolonialisme yang meberlakukan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat.

          Setiap pergerakan dan ruang perlawanan, telah diamati sedari awal oleh Multatuli (Tatang). Kemudian pada bagian tengah, Multatuli muncul dari bagian belakang kiri panggung, menghampiri Nata Sukma, Marhaen, dan Para Marhaenis. Menjelaskan bobroknya pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebagai saksi zaman Multatuli memperkenalkan diri dan mengutarakan apa yang pernah disaksikannya. “Tuan dan Nyonya yang terhormat, terimalah salam saya. Nama saya Multatuli, datang dari masa lalu. Saya ditugaskan di Ranggas Bitung, Ibu Kota Lebak Banten. Saya telah menyaksikan suata pemandangan yang penuh dengan kegilaan. Rakyat ditidas oleh Bupati mereka sendiri. Mereka hanya bisa bercerita dan tidak bisa tertawa, dan hak-hak pribadi mereka diperkosa demi kekuasaan”, begitu meyakinkan menjelaskan peristiwa masa lalu.

Nata Sukma, Marhaen dan Para Marhaenis menyampaikan
tentang penindasan oleh penguasa (Foto: Ucin)

          Setelah Multatuli menjelaskan pahitnya peristiwa masa lalu, kemudian Nata Sukma berkumpul di bale-bale yang di atasnya berkibar bendera merah putih. Di atas bale-bale, Nata Sukma menyampaikan kekesalan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat. “Alangkah sesatnya dunia ini. ..korporasi-korporasi yang masih memeras keringat rakyat. ..dan kerumunan manusia yang masih berbenturan dengan kebisingan kota”, tak lama berselang, Nata Sukma turun dari bale-bale, kemudian Marhaen dan Para Marhaenis memperagakan gerakan pekerjaan tanam paksa. “panen kopi dirampas, diperkosa, pada masa tanam paksa pada dua abad yang lalu, akibat kekejaman anjing penguasa Belanda yang kerasukan. Kita tahu, rakyat selalu dibantai, tanah Pasundan jadi kawasan Preangerstelsel dan seluruh Jawa jadi Cultuurstelsel.”, denga penuh semangat pemberontakan. Diakhir cerita, Marhaen dan Para Marhaenis menjinjing tanaman padi diatas kepala mereka, diiringi lirihan dendang dan sampelong dari pemusik untuk memperkuat suasana.  

          Dari peristiwa pemanggungan dari awal hingga akhir, saya dapat merasakan gerakan perlawanan dari lakon Nata Sukma. Tatang selaku pengkarya, masih terus eksis dan lantang menyuarakan kritikan terhadap ketidakadilan dengan isu-isu sosial-politik kaum tertindas hingga kini, sama dengan karya-karya sebelumnya. Saya teringat dengan apa yang juga pernah dilakukan oleh WS. Rendra, Bertold Brecht, Augusto Boal, Dario Fo, serta lainnya yang beririsan dengan itu semua.

          Oleh sutradara, lakon Nata Sukma, tidak berhenti pada Pekan Apresiasi Teater 7 saja. Lakon Nata Sukma juga dipentaskan di UiTM, Selangor, Malaysia pada 16 Oktober 2024 dan di Gedung Kesenian Kota Palembang pada 27 Oktober 2024, tentunya mendapat sambutan baik dari masyrakat penonton dan mendapatkan beragam komentar. Di UiTM misalkan, penonton dapat merasakan penderitaan sekaligus perjuangan yang tergambar dalam lakon Nata Sukma. “Saya sangat berempati dan tadi juga sempat menangis menyaksikan lakon Nata Sukma, tekanan yang dirasakan oleh Masyarakat juga dapat kami rasakan disini”, dengan penuh lirih menyampaikan yang tidak mau disebutkan namanya. Berikunyat, lain hal pula yang disampaikan oleh salah satu penonton di Palembang. “Membentangkan karya lakon Nata Sukma, seperti memberikan pengetuhuan baru akan peristiwa Sejarah perjuangan masa lalu, meskipun nama-nama tokoh yang coba dihidupkan kembali, ada banyak pelajar muda atau Gen-Z sebutan popular sekarang yang tidak mengetahuinya. Namun saya sangat mengapresiasi pertunjukan Nata Sukma, semoga para Gen-Z yang ada disini bisa mencari atau mengulik kembali tentang Sejarah dan para tokoh yang ada di dalam pertunjukan.” Ungkap Pak Toton menjelaskan penuh antusias.

Multatuli, sebagai saksi zaman menceritakan
tentang sejarah masa lalu (Foto: Ucin)

          Dari apa yang diungkapkan oleh penonton beberapa penonton di atas, saya sadar bahwasanya teater menjadi sangat penting untuk mengungkap relitas yang terjadi di Tengah Masyarakat. Terlebih lagi kepada Masyarakat yang merasakan langsung penindasan dan perampasan ruang kehidupan oleh “Kolonial Baru” yang telah menggurita di negeri ini. Kita tahu, ada banyak ruang kehidupan yang dirampas, kemudian memperjuangkan itu semua, nyawapun sebagai taruhan. Kita bisa lihat, misalkan konflik antara masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumbar dengan PT PHP I yang terus berulang padaha sudah ada regulasi dan aturan melalui Peraturan Presiden No 62 tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria. Ada lagi perjuangan yang dilakukan oleh Masyarakat Rempang yang berhadapan dengan pemerintah Batam demi meloloskan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Satu tahun telah berlalu, peristiwa 11 September yang memakan banyak korban dan kriminalisi terhadap masyrakat yang berjuang. Ada banyak banyak konflik agaria yang dialami oleh masyrakat petani pemilik sah lahan secara turun temurun, diantaranya; Wadas (Jawa Tengah), Kota Baru (Lampung Selatan), Pakel (Jawa Timur), dan ada banyak lagi yang lainnya. Kasus dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia, memberikan rapor merah kepada pemerintahan Jokowi.

 

Pemuda: Jangan Sampai Termakan Sumpah, Jadilah Garda Depan Perjuangan Rakyat  

          Menyaksikan langsung Lakon Nata Sukma, saya jadi banyak belajar dan membayangkan lakon Nata Sukma tidak hanya dipentaskan dan hanya disaksikan oleh pelaku seni, kaum terpelajar saja. Namun lebih jauh dari itu semua, lakon Nata Sukma juga dapat disaksikan langsung ke dalam titik episentrum konflik agaria yang banyak terjadi. Saya dapat merasakan bagaimana Nata Sukma, Multatuli, dan Marhaen telah berjuang sejak usia muda. Lalu membayangkan kembali pemuda Indonesia berada di garda depan perjuangan masyarakat yang mengalami langsung penindasan, penggusuran, penculikan, bahkan pembunuhan yang terus berulang. Pemuda Indonesia jangan sampai termakan sumpah oleh ikrar pada kongres pemuda yang telah dikumandangkan bersama-sama. Kongres dan Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak 1928, merupakan gerakan politik anak muda Indonesia yang lahir karena memiliki nasib yang sama akan ketertindasa yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 para pemuda telah berkumpul dan bersatu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain sebagainya.

Melalui lakon Nata Sukma dan Sumpah Pemuda, ada banyak pelajaran, gagasan, dan metode gerakan perjuangan harus diulang kembali. Pemuda Indonesia, bersatulah, bangun kekuatan bersama dan jangan sampai kalian termakan sumpah. Diakhir tulisan ini saya teringat sebuah pesan dari Haji Misbach “Nah nyatalah bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk menolong kepada siapa saja yang mendapat penindasan, hingga kita diwajibkan untuk berperang jika penindasan itu belum dihentikan.” Dari itu semua, saya dan kita banyak belajar akan gerakan perjuangan.

 

Kesimpulan

Pertunjukan teater "Nata Sukma" oleh Tatang Rusmana menghadirkan sebuah lakon perlawanan yang sangat relevan dengan konteks ketidakadilan agraria masa kini. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Multatuli dan Marhaen yang memiliki ikatan sejarah kuat, pementasan ini berhasil menggugah penonton untuk merenungkan sejarah perlawanan petani pada masa lalu dan kaitannya dengan situasi sosial-politik masa kini. Nata Sukma menjadi simbol bagi perjuangan rakyat kecil yang tertindas, menggugah rasa empati dan kesadaran kita akan pentingnya reformasi agraria yang berkeadilan.

Pertunjukan ini mengingatkan bahwa perlawanan adalah bagian dari identitas bangsa yang harus terus hidup dalam diri generasi muda. Di tengah maraknya konflik agraria dan penindasan, lakon Nata Sukma menjadi panggilan bagi pemuda Indonesia untuk tetap kritis, bersatu, dan terus memperjuangkan keadilan sosial demi kemaslahatan rakyat.


*tulisan ini diterbitkan pertama kali di media web ihwal.co


Share: