Label

Senin, 23 November 2009

Bersilaturahmi dan Beramal dihari yang Fitri Bersama Drama

Oleh: Husin, Penggiat dan Pemerhati Teater, Pendiri Teater Lorong Padangpanjang

Ada banyak cara, masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut ajaran Agama Islam untuk menyambut bulan suci ramadhan dan merayakan hari yang Fitri. Disetiap daerah, provinsi dan lain sebagainya memiliki latar belakang kebudayaan yang banyak dipengaruhi oleh berbagai macam aspek. Sehingga membuatnya menjadi banyak ragam kebudayaan. Namun tetap pada ajaran dan aturan yang ada di dalam ayat suci Al-Qur’an.
Bulan Ramadhan memang bulan yang penuh berkah, umat muslim diberi kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendalami agama Islam, untuk menyempurnakan amal ibadah. Tidak hanya sampai disitu saja, usai menjalani ibadah Ramadhan. Maka sampailah pada hari kemenangan, yakni Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat muslim berhak untuk merayakannya dan diberi kesempatan untuk saling memaafkan antar sesama, sehingga ruang sosialisasi dan komunikasi menjadi harmonis. Selain itu mereka juga dapat menafkahkan sebahagian rezekinya untuk orang lain yang membutuhkan, dalam hal ini fakir miskinlah yang dipandang perlu untuk menerimanya. “yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka” (QS 2:3). Ayat ini mencoba memerintahkan sholat dan menafkahkan sebahagian rezki untuk orang lain. Karena rezki yang kita miliki, sebahagian ada hak orang lain di dalamnya, Maha besar Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Begitulah yang setiap tahun dilakukan oleh orang Indonesia yang mayoritas agama Islam. Sehingga harus diakui, pengaruh agama Islam terhadap pola hidup bermasyarakat orang Melayu memang sangat besar. Bahkan kadang-kadang terkesan, bahwa Melayu identik dengan Islam.
Sama halnya dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Pulau Belimbing, Kab. Kampar, Prop. Riau. Mereka punya cara lain untuk merayakan hari raya Idul Fitri, yakni berbentuk drama. Drama tradisional ini diberi nama oleh masyarakat dengan sebutan sandiwara amal, karena masyarakat tidak mengenal istilah drama atau teater. Pemberian nama ini disebabkan oleh penampilan yang selalu memungut biaya dengan cara menjual karcis, namun hasil penjualan karcis digunakan untuk pembangunan desa, baik itu digunakan untuk perbaikan jalan yang menghubungkan dari desa ke desa, perbaikan mesjid atau musholla dan sarana pendidikan agama dan lain sebagainya.
Sandiwara ini diperkenalkan oleh Abik pada tahun 1948, yang pulang merantau dari Negara Singapura pada saat Hari Raya Idul Fitri. Pada tahun 1940-an Singapura telah mengalami kemajuan, pemuda ini sering menonton pertunjukan teater di perantauan, sepulangnya dari rantau ia mencoba melakukan hal serupa yang pernah ia tonton dan melakukan semampunya. Mulai dari mengumpulkan pemain yang terdiri dari pemuda, lalu ia buat cerita yang sangat dekat dengan persoalan masyarakat secara bersama, ia tentukan pemain dan disutradarai sendiri.
Alasan untuk memperkenalkan sandiwara hanya untuk menghibur masyarakat dan sebagian penduduk yang pulang dari rantau. Setelah satu minggu proses membuat cerita dan latihan, pertunjukan pun digelar tepatnya pada Hari Raya Enam Idul Fitri. Setelah pertama kali dilakukan akhirnya sandiwara ini menjadi rutin tiap tahun dilakukan dan menjadi milik masyarakat Pulau Belimbing. Sampai pada perkembangannya, drama ini mulai digelar pada lebaran pertama sampai ke-enam dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan hiburan.
Setelah sandiwara hadir di tengah masyarakat, Desa Pulau Belimbing, Kec. Bangkinang Barat, Kab. Kampar, Propinsi Riau mengalami kemajuan di bidang seni dan budaya. Seni budaya ini dari waktu ke waktu menjadi bertambah dan disusun menjadi kegiatan tahunan rutin, kegiatan itu diadakan mulai dari pra-Ramadhan hingga pasca hari raya Idul Fitri. Urutan kegiatan ini dimulai dari (1) bakela/makan basamo (makan bersama); (2) lomba MTQ; (3) pacu tongkang (pacu jalur); dan (4) sandiwara amal sebagai acara puncak.
Bentuk dan Unsur Pertunjukan
Bentuk sandiwara amal masyarakat Dusun Pulau Belimbing, Kec. Bangkinang Barat, Kab. Kampar, Propinsi Riau disampaikan dengan cara dimainkan atau dipertunjukkan. Para pelaku memainkan atau memperagakan cerita. Penyajian cerita dibawakan secara lelucon atau lawakan dan selalu spontanitas. Terkadang porsi lawakan cenderung menyindir dan sering berlebihan yang selalu mengikuti keinginan penonton, karena antara penonton dan pemain terjadi interaksi yang sangat komunikatif.
Gaya lawakan yang disebut farce (banyolan) adalah gaya permainan komedi yang berlebihan, kasar dan banyak menggunakan kelucuan yang mengutamakan gerak lahiriah. Gaya banyolan sering diperkuat dengan kelucuan dalam “permainan kata” (plesetan). Kadang kala dengan sengaja mengucapkan kata yang keliru, untuk menimbulkan efek lucu.
Bentuk penokohon yang selalu dipertahankan oleh masyarakat hingga hari ini adalah tokoh perempuan dimainkan oleh laki-laki. Laki-laki yang memerankan tokoh perempuan ini dari segi vokal, akting, kostum dan rias diupayakan serupa mungkin. Tokoh-tokoh demikian menjadi sangat penting dari setiap penampilan, karena mereka yang akan menghidupkan pertunjukan dan diinginkan oleh penonton. Makin banyak penonton tertawa, makin bertambah pula lawakan yang disuguhkan. Penokohan yang mempunyai unsur lawakan menjadi sangat menarik dan selalu digemari oleh masyarakatnya.
Selain itu segala bentuk unsur pendukung pertunjukan. Seperti tata pentas, cahaya, musik, rias dan busana dibuat sesederhana mungkin. Misalkan saja seperti tata pentas yang untuk membangun latar waktu dan tempat, mereka akan bikin semampunya atau bahkan mereka cukup membangun ruang dan garis imaginer saja. kemudian rias, mereka cukup menggunakan bedak tabur dan lipstik buat tokoh perempuan. Atau pencahayaan, mereka cukup menggunakan lampu neon saja. Karena fungsi cahaya bagi mereka, hanya untuk penerang saja.
Fungsi Pertunjukan Pertunjukan Bagi Masyarakat
1. Fungsi Kreativitas
Ide dan kekayaan bathin merupakan modal pokok bagi pengembangan kreativitas seni Sandiwara Amal sehingga menjadi suatu pertunjukan yang bisa nikmati. Hal ini sangat terlihat dalam sandiwara amal. Kemampuan seorang seniman dalam melahirkan gagasannya adalah sisi teknis yang menentukan keberhasilan dalam berekspersi, yaitu dalam memilih bahasa ekspresi yang praktis dan efisien, mudah dipahami dan memberikan pengalaman estetik yang menyenangkan.
2. Fungsi Estetis
Fungsi sandiwara amal adalah alat untuk melakukan transformasi nilai kemanusiaan ke tengah masyarakat. Sandiwara amal akan diterima sebagai gambaran biasa apabila sandiwara tersebut tidak dapat menyingkap tabir nilai estetis yang tersirat dalam pertunjukannya. Nilai estetis dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam budaya tertentu.
Mengamati sandiwara amal, bukan hanya mengamati wujud sebuah bentuk kehidupan masyarakat Desa Pulau Belimbing, Kec. Bangkinang Barat, Kab. Kampar, Prop. Riau dengan persoalan-persoalannya, tetapi juga hakikat yang terkandung dalam seni tersebut. Seniman sandiwara amal mencoba mengisi hakikat seni drama dengan menjadikannya lebih berisi dan bermakna seni yang tinggi.
Jika dikaitkan dengan moralitas, sandiwara amal berfungsi menemukan dan mengungkapkan keindahan semesta, karena adanya sesuatu yang agung dan mulia sesuai dengan apresiasi terhadap kosmos. Seni dalam pandangan kaum pencinta keindahan ini tidak bekerja secara langsung mengekspresikan ide atau sikap, tetapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu wujud. Seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant (dalam Jakob Soemardjo, 2001: 93) bahwa seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. Kesenian menjadi berkembang ketika seni dikembalikan dalam bentuknya yang utuh, yang tidak hanya sebagai alat untuk tujuan tertentu, tetapi juga untuk merangsang jiwa manusia yang memandang seni sebagai sesuatu yang indah.
3. Fungsi Kemasyarakatan
Seniman sandiwara amal mencoba meminimalkan konflik sosial dalam mengembangkan kesenian tradisional di Bangkinang. Seniman sandiwara amal sangat menyadari bahwa dimensi orientasi nilai mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi masyarakat Bangkinang. Dimensi ini digunakan untuk mengklasifikasi aspek-aspek sistim budaya yang berbeda. Dimensi kognitif berhubungan dengan sistim kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistim budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif dan dimensi moral berhubungan dengan sistim budaya dalam orientasi nilai. Intinya, seniman sandiwara amal mencoba memberikan pola-pola budaya yang modern kemudian menyatukannya dengan pola-pola budaya yang berkembang di Bangkinang. Tak ada paksaan untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada persoalan di luar budaya yang dikenal oleh masyarakat Bangkinang.
4. Fungsi sosial
Seniman sandiwara amal melakukan tindakan dalam mengorganisasi pemain agar keteraturan dan arah yang diinginkan dalam dunia kreativitas bisa terjaga dengan baik tanpa adanya konflik yang merusak sosial itu sendiri. Sistim sosial tersebut difungsikan oleh seniman tradisional dalam wujud membentuk fungsi baru dalam dunia seni drama.
Seniman sandiwara amal membentuk konsep sistim sosial dengan melibatkan pelaku-pelakunya. Dia yakin bahwa setiap pelaku kesenian di Bangkinang bermaksud untuk mencapai daya tarik yang tinggi terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat Bangkinang. Pada saat sandiwara amal mendapat tanggapan yang positif dari sistim sosial, maka tindakan itu akan diteruskan menjadi suatu rutinitas. Pelaku yang ikut bersama dengan seniman sandiwara amal merasakan bahwa dunia drama merupakan dunia yang bisa menghasilkan daya kritis.

Jumat, 20 November 2009

Perbenturan Agama dan Adat Menuju Estetika Paradoks

Oleh: Uchien
Penyutradaraan Kontemporer ini merupakan minat yang paling terakhir, menuju Tugas Akhir mahasiswa. Pada pementasan penutup (18/02), di Teater Arena Mursal Esten, pukul 20.00 WIB terlihat penonton bersabar tuk menyaksikan resital penyutradaraan kontemparer yang berjudul “Melintas Kandung” karya M. Fadli, sutradara yang sekaligus diuji Nolly Media Putra. Barangkali dibutuhkan kecerdasan yang mendalam dari sutradara untuk mengolah bentuk, agar esensi yang ingin disampaikan bisa tertangkap oleh penonton. Begitu pula penonton, sedapatnya memilki ketajaman analisa untuk bisa menangkap apa yang telah dikomunikasikan oleh suatu tontonan. Kecenderungan teater kontemporer secara bentuk kita akan melihat dengan hadirnya simbol-simbol, komposisi, kekuatan tubuh lebih mendominasi, dialog sangat puitis, bangunan plot/alur tidak literer dan sebagainya. Makanya, dibutuhkan ketajaman analisa dari setiap komponen panggung.
Dari penjelasan di atas, kita akan dapat melihat dari “Melintas Kandung” karya M. Fadli, sutrdara Nolly Media Putra. Di dalam panggung terdengar bunyi ombak yang menghantam karang, suara angin berhembus kencang, dan kicau burung yang sesekali melintasi laut. Cahaya tiba fade-in yang terfokus pada empat titik, titik pertama terlihat di kiri belakang panggung, pada level yang terbungkus oleh kain berwarna kuning, merah, dan hitam yang tingginya lebih kurang setengah meter dengan posisi horizontal. Terlihat ada janur pada dua sisi level, kuali lengkap dengan pemasaknya, seorang perempuan (tokoh Ibu) berpakaian Bundo Kanduang berwarna merah perlahan-lahan memutar-mutarkan sendok pada lingkaran kuali, sesekali perempuan itu memukul-mukulkannya, makin lama semakin cepat dan semakin tinggi. Disela itu secara bersamaan cahaya berwarna merah fade-in pada tiga titik, terlihat tiga laki-laki (tokoh Malin) bertelanjang dada mengenakan galembong, mereka berada di dalam bingkai yang berbentuk kotak/peti, berlahan-lahan secara bersamaan mereka bergerak dengan pelan.
Dalam hal ini ada dua pemisahan, antara tokoh perempuan (Ibu) dan tokoh laki-laki (Malin). Namun dalam lakon tersebut ada penokohan yang sama-sama antagonis, jadi tidak ditemukan tokoh protagonis, tidak ada yang menjadi penengah atau memihak. Jakob Sumardjo dalam bukunya “Estetika Paradoks” mengatakan dasar berpikir pola dua adalah bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan, hidup itu konflik, dan hidup itu adalah perang. “Melintas Kandung” ini bukanlah perperangan antara Ibu dan anak Laki-laki (Malin) yang melawan kepada Ibunya lalu dikutuk menjadi batu.
Perempuan (Ibu) sebagai simbol Adat, kemudian Laki-laki (Malin) simbol Agama. Awalnya, agama dan adat memang suatu pemisahan yang sangat jauh. Jika kita analogikan dalam perkawinan, lelaki tetap lelaki, perempuan tetap perempuan, dan keduanya melebur dalam satu kesatuan yang melahirkan entitas ketiga, yakni anak. Maka kemudian terjadilah peristiwa harmoni, syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Seperti yang dikatakan Jakob (2006) peristiwa harmoni adalah peristiwa paradoks, tidak ada yang dikalahkan, dan tidak ada yang dimenangkan. Keduanya pemenang, bahkan melahirkan hidup baru.
Sangat disayangkan pada pementasan “Melintas Kandung” tidak memperlihatkan adanya keharmonisan, terlebih lagi pada struktur pementasan tidak terlihat situasi yang menegangkan bahkan konflikpun tidak terbangun antara tokoh Adat dan Agama. Inilah kecenderungan seorang direktor (Sutradara) yang mencoba menggarap pada wilayah kontemporer, selalu melupakan unsur-unsur dramatiknya. Sehingga terlihat pada bagian tengah sampai akhir hanya pengulangan-pengulangan yang membosankan.