Label

Rabu, 24 Desember 2008

SUTRADARA YANG TAK PAHAM MAKNA (Catatan Empat Pementasan Drama Non Realis Jurusan Teater STSI Padangpanjang)

Oleh; Husin

Sutradara bukan hanya seniman yang mampu melatih dan memimpin actor, tetapi juga seorang manager yang dengan kecakapannya mampu mengurus anak buahnya dari mulai proses latihan sampai sampai pada pementasan yang merupakan kegiatan final. Pentas dipanggung juga merupakan hasil kecakapan manajemennya (Herman J. Waluyo).
Setiap akhir semester V bagi mahasiswa jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang yang mengambil mata kuliah Penyutradaraan Drama Non Realis akan menghadapi ujian pementasan, drama non realis yang dimaksud adalah suatu genre teater yang anti realis yang berupa; Klasik, Surialis dan absurditas.
Semester kali ini ada 4 mahasiswa yang akan melaksanakan ujian pementasan. Pertama, hari Jum’at, 25 Juli 2008. kita menyaksikan HAMLETMASCHINE (MESINHAMLET), Karya Heiner Muller, Sutradara Nolly. Karya Heiner Muller ini bercerita tentang seorang pemimpin yang sangat fasis dan despotik pada masa pemerintahannya, setelah ia ditumbangkan oleh lawan politiknya, ia diasingkan. Di dalam pengasingan Hamlet ditemani oleh Horatio, pengawal, sahabat, penjilat, sekaligus musuh dalam selimutnya yang berharap suatu saat dapat menggatikannya. Dalam pengasingan yang dipenuhi kontemplasi, Horatio masih terus mendorong Hamlet berbuat sesuatu untuk mengembalikan kejayaannya, kemudian ophelia memutuskan untuk berbuat sesuatu dalam kekosongan dan kenisbiaan kejiwaan dan psikologi Hamlet. Sebagai perempuan, istri dan manusia, ia berbuat-buat kemanusiaan. Lama-kelamaan Hamlet menjadi frustasi, depresi, lumpuh dan menderita penyakit psikologi (neurotik) yang akut. Hamlet menyesali masa lalunya di pengasingan.
Penampilan kedua pada hari Sabtu, 26 Juli 2008, muncul karya WB Yeats seorang penulis yang berkebangsaan Inggris dengan judul Purgatory, untuk kebutuhan akademis dan kreativitas naskah ini diterjemahan oleh Dian Ardiansyah dan diadaptasi oleh Dede Pramayoza, judulnya di ganti dengan “Arwah-arwah”, pada kesempatan ini disutrdarai oleh Yuanita Hanafi. Naskah ini bercerita tentang ketakutan orang tua terhadap anaknya (kaum muda), karena orang tua telah membunuh ayahnya yang dendam atas penyiksaan terhadap ibunya dimasa lalu. Penampilan ketiga dilampau satu hari yang dimulai pada hari Senen, 28 Juli 2008, dengan sutradara Cha-cha yang mencoba merekonstuksi naskah “Abu” karya B. Sularto menjadi “Romusa”. Kalau dilihat dari naskah aslinya, “Abu” bercerita tentang kekejaman tentara Jepang, yang memaksa orang Indonesia bekerja, bagi yang membangkang akan disiksa bahkan dibakar hidup-hidup. Karya penutup, tampil dengan naskah Wek-wek karya D. Djayakusuma yang disutradarai oleh Rima. Naskah ini mempersoalkan tentang perkara telor bebek yang hilang entah kemana, apakah ia dicuri atau menghilang begitu saja.
Dilihat secara keseluruhan, hampir seluruh pertunjukan tidak memberikan makna dan hanya memikirkan segi bentuk saja. Kelihatan sutradara tidak memiliki pemahaman terhadap teks, sehingga interpretasi terhadap teks menjadi kabur dan sangat ngawur, maka kelihatan pertunjukan menjadi ringan dan tanpa persoalan. Belum lagi masalah teknis panggung yang terlalu diabaikan, sutradara seperti baru satu hari saja mengenal tetaer, padahal mereka sudah lama mencicipi asam garamnya. Namun satu pertunjukan Mesin Hamlet karya Heiner Muller, sutradara Nolly Media Putra saja yang dapat diandalkan, meskipun analisis terhadap teks masih meraba-raba.
Pekerjaan sutradara suatu pekerjaan ynag tidak gampang dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar.Ternyata banyak hal yang mesti diperhatikan oleh sutradara, artinya untuk menjadi menjadi sutrdara bukanlah pekerjaan yang mudah, karna ia bagaikan beban yang sangat berat untuk dipikul. Langkah awal yang mesti dilakukan sutradara adalah, ia mesti memilki sebuah visi terhadap sebuah persolan yang akan diaplikasikan lewat pertunjukan, lalu kemudian apa teks sastra drama (naskah) yang tepat untuk menyampaikan visi itu. Naskahpun harus dijadikan pijakan untuk membentuk suatu pertunjukan, teater harus dijadikan sebuah media komunikasi terhadap masyarakat, maka sutradara harus mampu manganalisa setiap teks yang ada di dalam naskah, sehingga pemahaman sutradara terhadap teks tidak menjadi dangkal dan tidak menghilangkan esensi dari naskah itu sendiri.
Dalam hal ini dapat dilihat, bahwa mahasiswa yang mengambil mata kuliah penytradaraan drama non realis ini, hanya menyelesaikan KRS saja, sehingga keseriusan untuk menggali dan mendalami teater tidak kelihatan. Jika hal seperti ini terus dibiarkan, bagaimana kita bisa diakui bahwa kitalah orang yang mengerti teater. Daya saing untuk memberikan yang terbaik saja tidak ada, apalagi menempatkan teater sebagai media propaganda.
Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang, suatu institusi seni negeri yang satu-satunya di Sumatera. Harus bertanggung jawab penuh, terhadap mahasiswa yang masih menganggap seni hanya permainan belaka, sehingga institusi ini benar-benar mencetak para seniman yang mampu bersaing secara keilmuan. Biarlah orang yang akan menilai, bahwa istitusi benar-benar berkualitas. Jangan malah kita yang memuji insitusi kita sendiri.

Husin, adalah pemerhati dan praktisi Teater.

Doc. Dalam Penjara (Hello Out There)

Kubangan: Penyadaran Budaya Urban (Catatan Pementasan Teater Syahid)


Oleh: Husin

Barangkali jika mendengar kata kubangan, kita dihadapkan oleh sesuatu yang sangat berbau busuk, kotor dan sangat menjijikkan, dimana kerbau sangat senang bercebur didalamnya. Pementasan Teater Syahid dari Jakarta yang berjudul “Kubangan”, beberapa penonton beranggapan bahwa panggung dibuat menjadi sesuatu yang jorok dan sangat menjijikkan. Ternyata semua itu diluar dugaan.
Tak seperti biasanya, di luar gedung pertunjukan Auditorium Boestanul Arifin Adam Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang terdengar dentuman musik disco yang sangat keras. (11/11) baru lalu, penulis dan beberapa teman, tanpa menunggu pementasan dimulai langsung memasuki gedung. Ternyata didalam gedung terlihat lampu warna-warni, berkedap-kedip dan berputar-putar mengikuti tempo dan irama musik, tepatnya seperti discotik. Penonton ada yang bergoyang mengikuti irama musik dan ada pula yang menahan diri, barangkali tidak tersugesti atau belum pernah mengalami hal yang demikian.
Penonton dikala asyik menikmati musik, tiba-tiba masuk dua orang pemain peempuan dan enam orang pemain laki-laki berpakaian aneh dengan warna yang sangat mencolok, langsung menaiki panggung. Panggung di set panjang, dengan menambah trap dibawah panggung yang biasanya digunakan sebagai areal penonton, posisi penonton dibikin menjadi setengah lingkaran atau letter U.
Aktor-aktor tersebut bergoyang sambil mondar-mandir, tiba-tiba tubuh mereka bergetar, berselang beberapa menit tubuh mereka normal lagi, lalu bergetar lagi. Kemudian pergetaran tubuh mereka semakin cepat yang diikuti oleh aktivitas dan prilaku yang sangat cepat dan mekanis; ada yang bekerja dibertender, makan, menyemprot bunga, merias wajah, menunggu dan bekerja dimeja kantor. Setelah beraktivitas yang memakan waktu lebih kurang sepuluh menit, aktivitas mereka saling bertukaran dan semakin cepat. Pergerakan tubuh sperti itu, dapat digambarkan tentang kehidupan masyarakat perkotaan yang penuh sesak, ruwet yang dikendalikan oleh mesin waktu dan manusiapun tak ubahnya bagaikan mesin. Barangkali inilah tubuh-tubuh yang tidak sanggup lagi menahan derasnya perubahan yang terus berlangsung, kemudian tubuh-tubuh ini tidak punya pilihan lain, kecuali dipaksa untuk mengikuti percepatan zaman yang menawarkan prodak-prodak menggiurkan. Pikiran dan perasaan mereka sudah tidak bisa bekerja sama lagi.
Tubuh mereka terus bergetar dengan intensitas yang sangat maksimal, lalu mereka berdialog saling bersahut-sahutan. Dialog itu berbenturan dan saling berlawanan, mereka saling tidak percaya dan saling membantah dengan pemikirannya masing-masing. Sepertinya interaksi antara mereka dipicu oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, agama yang semakin hari semakin memprihatinkan. Dialog diucapkan dengan penuh kebencian, kemarahan dan dendam. Kesenjangan diantara mereka memunculkan kekerasan dan kerusuhan sangat gampang terjadi, keharmonisan dan kedamaian yang mereka harapkan tidak pernah ada.
Diolog-diolog itu, mengantarkan para aktor pada pergantian kostum yang telah tersedia disebelah kiri belakang panggung. Mereka mengganti pakaian dengan gaya dan penampilan yang berbeda-beda, lalu berjalan dan bergaya bagaikan model di atas cat walk. Lama kelamaan pakaian dan tingkah laku mereka semakin aneh, sepertinya mengisyratkan kejenuhan dan kebosanan terhadap kehidupan yang mereka jalani. Bagian ini penulis menangkap, bahwa mereka tidak hanya memperdagangkan atau menjual pakaian yang mereka peragakan, akan tetapi mereka telah menjual diri mereka sendiri. Menjual diri di sini, bukanlah dalam artian melacurkan diri saja, namun dia bisa menjadi artian banyak dan macam-macam, terserah kita mau mengiterpretasinya seperti apa? Pendekatannya kemana? Keanehan mereka semakin memuncak, sepertinya mereka tidak terlepas dari gelombang itu, hal ini digambarkan oleh pemain dengan cara mengikat diri dengan tali. Akan tetapi dengan segala kekuatan dan perlawanan mereka, akhirnya mereka mampu melepaskan itu semua. Mereka melepaskan segala aksesoris yang ada ditubuh. penghadiran teknologi manual ke atas panggung, turunlah sesuatu yang berupa bingkai, mereka meletakkan aksesoris di atas bingkai itu, setelah itu segala aksesoris, pakaian naik ke atas. Barangkali hal demikian adalah sesuatu kehidupan yang selama ini menjerat harus dilepaskan. Setelah semua terlepas, lalu berada disesuatu ambang penyucian diri di alam bawah sadar pikiran, namun sayangnya tubuh para aktor masih tetap memunculkan getaran.
Melihat struktur pemanggungan yang coba digambarkan di atas panggung, sepertinya sutradara (Bambang Prihadi) menghadirkan pendekatan eksperimental dalam spirit eksplorasi. Apa yang coba ditawarkan oleh sutradara dapat ditangkap suatu titik persolan yang dialami oleh masyrakat perkotaan, kalau bahasa lainnya budaya urban. Meskipun pertunjukan ini terlihat sepertinya anti dramatik, tidak memiliki fokus, baik itu tokoh ataupun yang lainnya. Tetapi bagi penulis, fokus disini adalah persoalannya. Dimana masyarakat dipaksa untuk patuh terhadap prodak-prodak kapitalis, manusia menjadi manusia yang konsumeristik dan hedon. Sepertinya manusia sangat bangga dengan kebesaranyya, sangat bangga dengan kekayaannya, sangat bangga dengan keindahannya, sangat bangga dengan jabatannya, sangat bangga dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tanpa memikirkan keberadaan nasib masyarakat kaum bawah. Padahal semua itu penuh misteri, keindahan yang diagungkan kadangkala membuat kita bingung dan gamang. Tanpa kita sadari, ternyata semuanya kusam, jorok, pengap dan rapuh. Ternyata semuanya telah direkayasa oleh kaum kapitalis. Sedangkan kita tidak menyadari, telah berada disekitar kubangan itu sendiri dan bahkan masuk kedalamnya.
Kalau dilihat dari segi pementasan dan dramaturginya, tentulah banyak hal-hal teknis yang tidak maksimal. Namun sutradara dengan Labor Teater Syahidnya yang dibiayai oleh Hibah Seni Yayasan Kelola ini berhasil menyadarkan kita pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Semuanya itu sudah sangat dekat disekitar kita. Seperti yang dikatakan oleh salah satu penonton, teater adalah sebuah peristiwa dan peristiwa itu harus disampaikan lewat media panggung.

Husin, adalah pemerhati dan praktisi teater. Kini masih terus belajar teater di Komunitas Lorong dan Komunitas Hitam-Putih.